Ratusan orang berkumpul di salah satu sisi di Taman Bungkul, Surabaya, untuk nonton bersama film mengenai Soekarno yang berjudul “Ketika Bung di Ende” dan “Sang Kyai”. Acara nonton bareng (nobar) dilakukan bertepatan dengan himbauan nonton bersama film G30S/PKI pada akhir September.
Film “Ketika Bung di Ende” dan “Sang Kyai” mengisahkan perjuangan para pendiri bangsa, pada masa sebelum hingga kemerdekaan diperoleh. Salah satu film yang menceritakan pembuangan Soekarno di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, mengajak para penonton untuk terus memperjuangkan kemerdekaan hingga berhasil diraih, meski ada keterbatasan dan kelemahan.
Menurut salah seorang warga Surabaya, Titus Reawaruw, film mengenai perjuangan para pendiri bangsa ini layak menjadi tontonan yang dapat meningkatkan semangat nasionalisme, dibandingkan film lain yang hanya menimbulkan perdebatan dan menumbuhkan rasa benci terhadap suatu kelompok.
“Soekarno merupakan tokoh yang sangat monumental dan bangsa ini harus menghormatinya bagaimana pun juga. Dan film ini adalah film yang sangat baik di mana semua generasi bisa menontonnya. Kita melihat bahwa bangsa ini memerlukan berita yang baik, kabar yang baik, bahwa kemerdekaan itu adalah segalanya yang harus dipegang dan dijunjung tinggi,” kata Titus.
Ketua Koordinator Daerah (Korda) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jawa Timur, Mohammad Ageng Dendy Setiawan mengatakan, gerakan nonton bersama film yang masih menjadi perdebatan dan kontroversi seperti film G30S/PKI merupakan hal yang kontra produktif disaat bangsa Indonesia memerlukan semangat dan kebersamaan untuk membangun.
“Terkait G30S/PKI itu kan masih simpang siur, masih pro kontra, dan kebenaran sejarahnya pun masih ada pro kontranya. Oleh karena itu, kami dari Forum Kebangsaan Jawa Timur, kami dari GMNI beranggapan bahwa ketika film itu diputar maka akan menimbulkan konflik horisontal, banyak memunculkan perdebatan, bangsa ini tidak pernah maju ketika masyarakatnya masih konflik horisontal. Para founding father ini susah payah memerdekakan bangsa, ketika bangsa sudah merdeka dan kita masih konflik horisontal maka bangsa ini tidak akan pernah mencapai kemajuannya,” ujar Dendi Setiawan.
Budayawan dan juga dosen Universitas Airlangga Surabaya, Tjuk Kasturi Sukiadi mengungkapkan, perdebatan mengenai isu komunisme seharusnya tidak perlu dilakukan lagi karena musuh terbesar yang ada di depan saat ini adalah ancaman korupsi dan narkoba.
“Kalau kita sekarang kemudian tersihir untuk mengikuti ontran-ontran (gerakan) yang tidak ada gunanya, termasuk tadi, ada bahaya komunisme, PKI bangkit lagi, itu omong kosong menurut saya. Sekarang itu yang paling bahaya adalah korupsi dan narkoba. Mexico itu merdeka hampir 200 tahun, tapi tidak kemana-mana karena apa, karena korupsi dan narkoba, ini harus kita perangi habis-habisan,” tukas Tjuk.
Your browser doesn’t support HTML5
Tjuk mengatakan sudah saatnya bangsa Indonesia berpikiran maju ke depan, bersaing di segala bidang dengan bangsa lain, bukan malah meributkan isu yang tidak jelas. Cita-cita sebagai bangsa yang besar dapat terwujud, bila masyarakat Indonesia mengutamakan kerja dan karya, sambil membersihkan diri dari korupsi dan narkoba yang masih merajalela.
“Sebagai bangsa kita harus bisa menempa diri, belajar lebih keras, lebih cerdas, untuk mengejar ketertinggalan kita dari bangsa lain. Dan tadi kuncinya, secara politik kita harus membersihkan diri dari politik uang, kita harus membersihkan diri dari korupsi, kita harus membersihkan diri dari narkoba, kalau itu kita kerjakan, kita yakin insya Allah Indonesia akan menjadi bangsa yang besar, yang berjaya, dan bangsa yang akan dikagumi oleh dunia,” pungkasnya. [pr/em]