Acara “Mining for Life” atau “Tambang untuk Kehidupan” di Museum Geologi, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (19/1/2019), digelar untuk memperbaiki citra buruk industri ini. Dalam acara tersebut, terdapat panggung musik, pameran, seminar, termasuk berbagai permainan. Salah satu permainan bertanya kepada masyarakat apa yang paling ingin diketahui dari tambang. Hasilnya? Dampak lingkungan memang jadi perhatian utama.
Riza Pratama, ketua panitia acara ini, mengatakan hal itu tidak mengejutkan. “Oh tentu saja tidak kaget. Kita di tambang itu udah makanan sehari-hari. Jadi memang ada dampak terhadap lingkungan tapi bagaimana kita memitigasi dan mengecilkan dampak itu terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar secara sosial,” ujarnya kepada wartawan.
Juru Bicara PT Freeport Indonesia ini mengatakan, meski kalangan industri tambang terikat pada aturan yang ketat, sorotan tajam kerap dilayangkan pada mereka.
Your browser doesn’t support HTML5
“(Pengawasan) dari pemerintah (pusat) ada, pemerintah daerah ada, dari internasional pun ada. Jadi itu sangat ketat dan itu tiap tahun secara berkala diaudit. Bayangkan kalau perusahan seperti kita diaudit ternyata ada temuan, itu operasi kita bisa ditutup. Jadi risikonya sangat besar,” jelasnya.
Industri tambang memang berkontribusi besar bagi masyarakat dan juga negara. Setiap orang pasti bergantung pada produk hasil pertambangan: dari batu bara untuk listrik, mineral untuk alat elektronik, sampai logam mulia untuk perhiasan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, sektor mineral dan batu bara (minerba) menyumbang 50 triliun Rupiah pendapatan negara pada 2018. Angka itu melampaui target 32 triliun rupiah.
Industri Tambang Selalu Disorot
Namun demikian, sektor pertambangan juga punya dampak lingkungan yang tidak sedikit. Laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengungkap, aktivitas pertambangan batubara, misalnya, meninggalkan “tanah yang tandus, daerah tangkapan air yang tercekik dan terpolusi, dan air tanah yang habis.” Dalam laporan akhir tahun 2018, JATAM mencatat tambang batubara beroperasi pada lahan seluas 4 juta hektar di 23 provinsi, paling banyak di Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Lembaga ini juga menemukan, praktik korupsi kerap terjadi dalam sektor tambang. Selama 2014-2018, terdapat 23 dugaan korupsi dengan kerugian negara diperkirakan mencapai 210 triliun Rupiah. Tiga kasus terbesar meliputi dugaan korupsi terkait aktivitas tambang di kawasan konservasi di Kalimantan dan Sulawesi, dan kawasan hutan di Papua.
Selain itu, industri tambang juga sering meninggalkan bekas galian yang seharusnya ditutup kembali (direklamasi). Jatam menemukan 3.033 lubang tambang bekas batubara, mayoritas di Kalimantan Timur, yang telah memakan korban setidaknya 30 orang. Lubang bekas tambang emas, pasir, dan timah juga tercatat memakan 115 korban selama 2014-2018.
Panitia acara ini, yang terdiri atas Indonesia Mining Association (IMA) dan disponsori sejumlah perusahaan tambang, mengakui masih ada perusahaan yang tidak taat aturan. Riza mengatakan, pengawasan itu jadi kewenangan pemerintah.
“Emang ada tambang yang tidak melakukan yang seharusnya mereka lakukan untuk reklamasi. Tapi itu adalah bagian dari negara dan asosiasi yang harus bersama-sama melihat mana tambang yang tidak melakukan kewajibannya,” pungkasnya.
Tantangan Pengawasan Tambang
Deputi Direktur Eksekutif IMA Djoko Widojatno Soewanto mengatakan pemerintah kesulitan mengawasi perusahaan tambang. Dari sekitar 3.000 izin tambang yang beroperasi di Indonesia, pemerintah saat ini baru memiliki 900-an inspektur pengawas tambang. Artinya, masing-masing harus mengawasi 3 lokasi, itu pun berjauhan.
“Dan jaraknya cukup dekat, 500-600 kilometer dari pusat transportasi. Jadi bisa dibayangkan kalau pengawasannya semakin berkurang,” ujar Djoko sambil bercanda.
Para pengawas ini juga harus memperhatikan pertambangan illegal dan pertambangan rakyat yang tersebar di banyak lokasi.
Selaku asosiasi, IMA memberikan pelatihan lingkungan kepada para pegawai dari perusahaan yang dinaunginya. Selain itu, pihaknya juga terus mendorong perusahaan untuk tunduk pada praktik pertambangan hijau.
Ketua Komite Humas IMA, Anita Avianty, menjelaskan perusahaan tambang, baik kecil atau pun besar, diwajibkan mengembalikan lingkungan seperti semula.
“Dan menurut saya yang hebatnya adalah varietas tanaman yang harus ditanam adalah tanaman yang sama sebelum lahan tersebut digunakan untuk tambang. Jadi kita harus memastikan jenis flora dan fauna,” jelasnya.
Lewat praktik yang lebih ramah lingkungan, citra industri ini diharapkan jadi lebih baik. Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar berharap masyarakat melihat industri ini secara lebih utuh.
“Jadikan momen dan media untuk mengkampanyekan pengelolaan dan pemanfaatan tambang hijau atau yang dikenal dengan green mining sehingga mampu menjadi citra positif di masyarakat,” ujarnya. [rt/em]