Sebuah pengadilan Myanmar telah menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara kepada wartawan Amerika Danny Fenster, atas tuduhan menjalin asosiasi yang melanggar hukum, mengeluarkan hasutan untuk melawan militer dan melanggar ketentuan mengenai visa, kata pengacara dan media tempat kerjanya hari Jumat (12/11).
Than Zaw Aung, pengacara Fenster, mengatakan kepada VOA bahwa sekarang ini belum ada rencana untuk mengajukan banding.
Fenster menghadapi tuduhan tambahan yakni penghasutan dan terorisme, yang dapat membuatnya diancam hukuman penjara seumur hidup. Pengacaranya pada hari Rabu mengatakan ia tidak dapat menjelaskan mengapa ada tuduhan-tuduhan baru, atau apa yang dituduhkan pihak berwenang mengenai perbuatan yang telah dilakukan Fenster.
Tuduhan tambahan itu diajukan di bawah Pasal 124A Hukum Pidana Myanmar, yang melarang penghasutan melawan pemerintah, dan berdasarkan Pasal 50A UU Kontraterorisme Myanmar, yang mengkriminalkan kontak dengan “kelompok-kelompok teroris.”
“Semua orang di Frontier kecewa dan frustrasi atas putusan ini,” kata Frontier Myanmar yang berbasis di Yangon dalam sebuah pernyataan hari Jumat.
Fenster ditangkap di Bandara Internasional Yangon pada Mei lalu sewaktu hendak menaiki pesawat menuju AS, via Malaysia.
“Polisi mengira ia bekerja untuk Myanmar Now. Pada waktu penangkapan di bandara, polisi mendapati kartu tanda pegawainya di Myanmar Now,” kata Than Zaw Aung kepada VOA.
Myanmar Now adalah satu dari lima media yang izin operasinya dicabut oleh junta pada April lalu.
Fenster bekerja untuk organisasi berita itu dari tahun 2019 hingga 2020, namun berhenti bekerja di sana beberapa bulan sebelum kudeta militer, rincian yang dikukuhkan oleh Myanmar Now.
BACA JUGA: Wartawan AS yang Ditahan di Myanmar Hadapi Tuduhan Baru Soal Terorisme, PenghasutanJuru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan kepada VOA hari Rabu bahwa Fenster harus dibebaskan dengan segera. “Kami tahu bahwa rezim mengajukan tuduhan tambahan terhadap Danny. Penahanan Danny yang sangat tidak adil terlihat jelas oleh dunia. Rezim harus mengambil langkah bijak untuk membebaskannya sekarang. Penahanannya yang terus berlanjut tidak dapat diterima sama sekali. Jurnalisme bukanlah kejahatan.”
Menanggapi pertanyaan VOA awal pekan ini, Price mengatakan pembebasan Fenster merupakan “prioritas mutlak.” Hampir sepanjang sejarah modernnya, Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, diperintah oleh penguasa militer.
Militer mengklaim kecurangan pemilu November 2020 yang tak berdasar. Pada 1 Februari, militer menyingkirkan pemerintah yang dipilih secara demokratis: pemimpin Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint ditahan dan dikenai dakwaan.
Protes antikudeta dimulai tidak lama setelah itu, dengan ribuan orang turun ke jalan dan menolak bekerja di bawah pemerintah militer. Tetapi militer menindak para pembangkang dengan kekerasan, dan sedikitnya 1.252 orang telah tewas sejak kudeta, menurut organisasi pemantau Asosiasi Bantuan bagi Tahanan Politik. Lebih dari 100 wartawan dan staf media telah ditangkap selama penindakan itu, menurut Reporting ASEAN.
PBB mengutip data dari para aktivis yang mengatakan lebih dari 1.200 warga sipil telah tewas dalam aksi demonstrasi menentang kudeta dan ribuan orang ditahan sejak Februari lalu.
"Banyak hal yang salah di negara ini," cuit Sonny Swe, seorang jurnalis dan penerbit yang dipenjara di bawah era kekuasaan militer sebelumnya, di Twitter. [ah/rs, uh/ab]