Nelayan Aceh Desak Aparat Atasi Pencurian Ikan oleh Kapal Asing

  • Budi Nahaba

Hasil tangkapan ikan di Pelabuhan Lampulo Banda Aceh (foto: dok). Nelayan Aceh mengeluhkan banyaknya pencurian ikan di perairan Aceh oleh kapal asing.

Beberapa nelayan ikan tuna di Aceh mengeluhkan aksi sejumlah kapal-kapal asing yang diduga mencuri di perairan Indonesia,terutama di perairan Aceh,yag berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan Selat Malaka.
Salah seorang nelayan tuna dari Desa Bungkah, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara Abdul Syafi (32) mengatakan Senin (28/1), praktek pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Aceh makin mencemaskan.

Abdul minta pemerintah Aceh dan pihak berwenang turut memberi bantuan alat komunikasi , sehingga dapat membantu petugas patroli baik TNI maupun Polri, saat nelayan melihat langsung praktik pencurian ikan di laut yang diduga dilakukan oleh kapal-kapal asing.

Juru bicara pemerintah Aceh, Makmur Ibrahim, mengatakan baru-baru ini di dalam meningkatkan produksi sektor perikanan tangkap dan budi daya, pemerintah Aceh tetap pada komitmennya menerapkan pengembangan sektor perikanan lestari dengan memperhatikan masalah-masalah lingkungan, peluang investasi dan penegakan hukum.

Ia mengatakan, “Harapannya keberadaan Pangkalan TNI Angkatan Laut yang ada di Sabang, supaya melakukan patroli rutin sehingga pencurian ikan di laut oleh nelayan negara tetangga berkurang, patroli dan pengawasan di laut difasilitasi pemerintah pusat.” Makmur menambahkan, pihaknya siap menampung keluhan dan pengaduan nelayan terkait masalah-masalah keamanan di laut, dan harapannya dapat menyampaikan kepada aparat berwenang.

Anggota Komisi I DPR RI, Effendi Choirie, mengatakan, parlemen pusat di Jakarta tengah berupaya mendukung pemerintah mengoptimalkan anggaran pertahanan, terutama untuk segera merampungkan pengadaan kapal-kapal patroli cepat yang dilengkapi dengan teknologi rudal terutama bagi TNI Angkatan Laut. Ia mengimbau agar TNI AL aktif berpatroli di wilayah itu, mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan.

Dr Adli Abdullah dari Pusat Studi Adat Laut dan Perikanan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh mengatakan, sumber daya maritim Indonesia, dan Aceh khususnya cukup besar. Adli mendesak pemerintah Aceh proaktif membuka peluang usaha seluas-luasnya bagi peningkatan sektor komoditi perikanan untuk ekspor.

Aceh menurut para pakar selain bergantung pada perikanan tangkap perlu mengembangkan perikanan budi daya. Lebih jauh Adli Abdullah mengatakan, “Disamping perikanan tangkap, perlu dikembangkan lagi perikanan budi daya. Tambak-tambak yang sudah terbengkalai karena ekses konflik bisa dihidupkan kembali.”

Masa depan kesejahteraan nelayan, menurut Abdul Syafi perlu mendapat pembinaan serius pihak pemerintah,pemerintah Aceh khususnya. Ia mengatakan, “Tuna di laut kita masih sangat banyak,baik di Selat Malaka dan Samudera Hindia , apa lagi pada saat musim-musim [angin] timur seperti ini. Lima puluh persen pemuda berprofesi sebagai nelayan. Harga tuna di Singapura mencapai Rp 200 ribu/kg, dibeli dari kami nelayan maksimal Rp 42 ribu/kg.”

Para nelayan berharap, pemerintah Aceh bisa memfasilitasi produksi tuna nelayan dengan harga yang bersaing di pasar global. Lebih jauh Abdul Syafi nelayan Kuala Bungkah Dewantara Kabupaten Aceh Utara.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan RI hingga akhir tahun 2011 mencatat ekspor tuna Indonesia mencapai US$ 499 juta, sehingga menjadikan Indonesia merupakan produsen utama tuna dunia. Sementara capaian produksi ikan hingga triwulan kedua 2012 tercatat sebesar 73,28% atau 10,89 juta ton dari target yang ditetapkan sebanyak 14,86 juta ton. Jumlah target tersebut meningkat jika dibandingkan dengan 2011 sebesar 12,39 juta ton. Jumlah itu berasal dari kegiatan penangkapan dan budidaya perikanan.

Dimasa depan menurut para analis, kekayaan dan kekuatan ekonomi Indonesia lebih besar berasal dari laut (UNCLOS 1982), wilayah laut mendominasi, kurang lebih 75,3 persen dari luas daratan.