Neraca Perdagangan Q4/2013 Surplus, Ekonomi Indonesia Tetap Rentan

  • Iris Gera

Tambang batu bara di kabupaten Palaran, Samarinda, Kalimantan Timur. (Reuters/Zevanya Suryawan)

Meski neraca perdagangan Indonesia pada kuartal keempat 2013 surplus, namun hal itu tidak mampu menekan defisit neraca perdagangan 2013.
Dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (3/2), Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin menjelaskan, pada Desember 2013 neraca perdagangan Indonesia surplus sebesar US$1,52 miliar dan merupakan surplus Desember tertinggi sejak 2011. Neraca perdagangan Indonesia juga surplus pada Oktober dan November 2013, ujarnya.

“Ini mudah-mudahan gambaran yang baguslah ya untuk negara kita, neraca volume juga surplus cukup besar. Kita memang mengekspor banyak yang berat-berat, batu bara. Bulan Desember dengan negara-negara ASEAN secara keseluruhan kita surplus, dengan Uni Eropa secara total pada Desember kita surplus, dan dengan negara utama lainnya dimana di dalamnya ada China dan Jepang juga kita secara total surplus. Dengan Amerika surplus, dengan Australia dan Korea Selatan memang masih defisit cukup tinggi juga, dan dengan Taiwan,” ujarnya.

“Meski demikian besarnya impor dibanding ekspor menyebabkan neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2013 defisit sebesar $4,06 miliar. BPS mencatat eskpor Indonesia ke berbagai negara sepanjang 2013 sebesar $182,57 miliar, dan impor sebesar $186,63 miliar.”

Untuk ekspor sebenarnya mampu mencapai target yang semula ditetapkan pemerintah sebesar $180 miliar, ujar Suryamin, namun ternyata impor tetap tinggi.

Pengamat ekonomi dari lembaga kajian ekonomi INDEF, Hendry Saparini mengatakan, pemerintah Indonesia harus meningkatkan kinerja ekspor melalui produk-produk olahan atau bahkan produk jadi. Menurutnya, jika Indonesia mengekspor bahan mentah, defisit neraca perdagangan akan terus terjadi.

“Yang diekspor itu adalah bahan mentah dan energi, maka tujuan negara untuk ekspor kita tidak banyak, dan kemudian kita tidak mudah untuk memindahkan tujuan negara untuk ekspor kita,” ujarnya.

“Beda kalau misalnya seperti China, 95 persen ekspor mereka dalam manufacturing product, India 60 persen adalah manufacturing product, maka kalau kita ingin mendorong ekspor maka produknya itu adalah final product sehingga bisa dipindah ke mana saja. Tapi kalau kita kepada negara-negara industri, tidak bisa kemudian tiba-tiba CPO yang andalan kita, kita pindahkan ke negara Eropa atau ke Afrika, itu tidak semudah itu,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Erwin Aksa mengatakan, sampai saat ini pengusaha menilai ekonomi Indonesia masih rentan terhadap faktor global. Kondisi tersebut, menurutnya, otomatis menganggu industri dalam negeri dan berdampak negatif terhadap kinerja ekspor.

Ia juga menilai iklim investasi di Indonesia belum kondusif, diantaranya disebabkan oleh ketidakpastian hukum sehingga investor lokal dan asing lebih tertarik berinvestasi di negara lain dibanding di Indonesia.

“Sekarang pengusaha, mereka tentunya ingin mengetahui sebenarnya kondisi fundamental ekonomi negara kita. Kalau Amerika atau apa ada guncangan sedikit sepertinya kita langsung terpengaruh, berarti ada fundamental yang rapuh di ekonomi kita, foreign direct investment sebenarnya masih tertinggal,” ujarnya.

Erwin mengatakan kurangnya bantuan pemerintah terkait infrastruktur pendukung industri membuat pengusaha tidak berdaya mengolah bahan mentah menjadi produk olahan dan produk jadi.

Akibatnya, tambahnya, Indonesia kembali mengimpor produk yang sebenarnya bahan mentahnya berasal dari Indonesia. Ia berharap pemerintah memberi keringanan pajak bagi perusahaan-perusahaan yang berminat mendirikan pabrik olahan, dan juga membangun infrastruktur jalan serta pelabuhan agar pengusaha dapat menekan biaya produksi dan distribusi.

BPS mencatat hingga saat andalan tujuan ekspor Indonesia yaitu China, Jepang, Amerika Serikat, negara-negara anggota ASEAN dan Uni Eropa. Sementara untuk impor banyak didatangkan dari China, Jepang, Thailand, Asean dan Uni Eropa.