Karena budaya dan kebijakan negara, masyarakat Indonesia masih memandang tugas rumah tangga bukan sebagai pekerjaan. Padahal, menurut sejumlah pakar, banyak negara telah memilih sudut pandang yang lebih tepat. Indonesia perlu belajar terkait ini.
Seseorang yang mengurus rumah, merawat anak dan melaksanakan pekerjaan rumah tangga lain, hakekatnya adalah bekerja. Peran ini bisa dilakukan suami atau istri, ketika pasangan bekerja di luar rumah. Namun di Indonesia, kata Siti Syamsiyatun Ph.D, terkait pekerjaan hingga saat ini yang diapresiasi adalah pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan uang. Masyarakat tidak menghargai pekerjaan-pekerjaan dalam ranah reproduktif.
“Padahal dalam pandangan kami, reproduktif dan produktif itu sama pentingnya. Tetapi sekarang ini banyak sekali orang mengabaikan yang reproduktif. Perempuan yang mengasuh anak sembilan, tiga atau lima misalnya, itu seolah-olah dianggap tidak bekerja, dibandingkan dengan mungkin suaminya yang menghasilkan per bulan Rp3 juta,” ujar Siti.
Perlu Dukungan Kebijakan
Siti adalah dosen di Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia berbicara pada diskusi mengenai peran dakwah dalam pemberdayaan pekerja perempuan di Indonesia, Selasa (20/4).
Pekerjaan reproduktif adalah pekerjaan yang berkaitan dengan perawatan dan pemeliharaan rumah tangga dan anggotanya. Termasuk di dalamnya mencuci, memasak, merawat anak, membersihkan rumah tinggal dan sejenisnya.
Sejumlah negara, kata Siti, mulai menerapkan kebijakan yang lebih mengapresiasi pekerjaan-pekerjaan domestik. Tujuannya adalah agar beban ganda atau beban berlebih perempuan dapat diringankan. Selain itu, kebijakan ini juga mengajak laki-laki sebagai bagian dari keluarga untuk turut berkontribusi dan menghargai pekerjaan-pekerjaan reproduktif.
Siti mengingatkan fungsi buruh di pabrik akan segera digantikan mesin, tetapi peran perempuan mendidik anak dan menjaga keberlangsungan rumah tangga tidak dipengaruhi perubahan teknologi.
“Pekerjaan reproduktif, pekerjaan-pekerjaan pendidikan, yang memerlukan kasih sayang, memerlukan empati, itu tidak bisa tergantikan,” tegasnya.
Siti menilai, Indonesia masih sangat kurang memperhatikan peran besar pekerjaan-pekerjaan reproduktif, kependidikan, dan penyiapan sumber daya manusia di rumah ini. Beberapa yang bisa dilakukan, tambahnya adalah memberikan keringanan pajak atau child tax benefit, kepada perempuan yang memilih menunaikan pekerjaan rumah tangga sepenuhnya. Perlu dipikirkan juga cuti bagi laki-laki ketika istrinya melahirkan dan merawat bayi di bulan pertama.
Pemerintah harus berpikir jangka panjang. Jika pekerjaan reproduktif berjalan baik di setiap rumah tangga dengan dukungan kebijakan, di masa depan akan mampu menekan biaya kesehatan nasional. Logikanya, generasi yang lebih sehat secara jasmani dan rohani, akan lebih sedikit membutuhkan anggaran kesehatan.
BACA JUGA: Perempuan, Terorisme, dan Tawaran Feminisme untuk MengatasinyaAkses Pendidikan dan Ekonomi
Dalam sudut pandang berbeda, Suparto Ph.D dari UIN Jakarta juga mengatakan posisi perempuan dalam isu ketenagakerjaan masih membutuhkan banyak dukungan. Mengutip data Badan Pusat Statistik, di Indonesia laki-laki digaji lebih tinggi dari perempuan dengan angka rata-rata gaji laki-laki Rp2,9 juta berbanding Rp2,3 juta untuk perempuan.
Berdasarkan data dari organisasi buruh internasional ILO, kondisi ini tercipta karena akses yang terbatas bagi perempuan untuk mendapatkan pelatihan dan pendidikan. Namun di sisi lain, kata Suparto, ada pula keterkaitan dengan pilihan perempuan untuk sepenuhnya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
“Terutama pada masyarakat-masyarakat tradisional, yang memandang perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh kemudian akan kembali pada kodratnya mengasuh anak, mengasuh suami, menjadi hiasan domestik saja sudah cukup,” ujar Suparto dalam diskusi yang diselenggarakan FDK UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini.
Kondisi itu sudah banyak berubah, antara lain karena akses pendidikan bagi perempuan yang semakin luas saat ini. Di banyak perguruan tinggi misalnya, jumlah mahasiswi bisa lebih banyak dari mahasiswa. Namun, bukan berarti semua telah selesai. Membaiknya akses pendidikan belum diikuti terbukanya akses sumber ekonomi bagi perempuan.
“Misalnya mau mengajukan kredit ke bank, perempuan sulit karena bagaimanapun harus ada agunan yang diberikan ke bank, sementara agunannya masih atas nama suami. Mau tidak mau, laki-laki yang mudah mendapatkan akses seperti itu,” tambah Suparto.
Your browser doesn’t support HTML5
Butuh Peran Pendakwah
Dalam situasi sosiologi masyarakat Indonesia saat ini, menurut Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, dukungan perubahan bisa datang dari para pelaku dakwah. Pendakwah yang lahir dari fakultas dakwah di perguruan tinggi memang harus menguasai ilmu keagamaan. Namun, kata Ida, saat ini mahasiswa juga harus memahami perkembangan zaman, memiliki wawasan luas, mampu beradaptasi dan memahami toleransi, serta menguasai teknologi.
Sebagai tambahan, Ida meminta pendakwah lebih menguasai isu pembelaan bagi perempuan dan sektor ketenagakerjaan.
“Termasuk yang juga penting bagi pendakwah adalah mengerti konsep pemberdayaan terhadap tenaga kerja perempuan, pemahaman tentang konsep bekerja, aturan, hak perempuan bekerja dan bentuk-bentuk pekerjaan yang dapat dilakukan,” ujar Ida.
Perubahan sudut pandang masyarakat membutuhkan upaya lebih besar. Karena itu, pendakwah tidak bisa berhenti pada tema-tema terkait ibadah. Indonesia masih membutuhkan pendakwah profesional yang memiliki peran strategis dalam pemberdayaan perempuan.
Karena perubahan diperlukan dari sisi masyarakat dan dukungan pemerintah, dari sisi yang lain, kata Ida, negara telah menunjukkan perannya. Melalui kementerian yang dipimpinnya, ada aspek kebijakan bersifat protektif yang ditetapkan, seperti memberikan perlindungan pekerja perempuan terkait fungsi reproduksi.
Kebijakan kedua bersifat kuratif, seperti larangan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerja perempuan karena menikah, hamil dan melahirkan.
“Ketiga, kebijakan non-diskriminatif. Yaitu memberi perlindungan bagi pekerja perempuan, terhadap diskriminasi dan ketidakadilan gender, dalam semua aspek di tempat kerja, dan terus mengembangkan program-program pemberdayaan tenaga kerja perempuan,” tambah Ida. [ns/ab]