Para "Sosiopreneur" Atasi Masalah dengan Berdayakan Masyarakat

  • Karlina Amkas

Lusia Kiroyan dan boneka-boneka yang pakaiannya dihasilkan oleh 150 perempuan narapidana.(foto: dok. pribadi)

Para pemuda Indonesia menolak menjadi sekadar pengusaha. Mereka ingin menjadi agen perubahan yang mengatasi masalah sosial sekaligus memberdayakan masyarakat, dikenal sebagai sosiopreneur. Menurut pengamat sosial, pemuda era digital justru ingin menyelesaikan persoalan nyata.

Lusia Kiroyan menangis ketika perempuan-perempuan djebloskan ke penjara dan tak ada kegiatan yang memberdayakan mereka. Berbasis di Pulau Batam, ia kemudian membuat usaha "Batik Girl", mempekerjakan perempuan narapidana menghasilkan baju-baju indah untuk boneka yang mirip Barbie.

“Rata-rata di penjara sekarang 80 persen karena kasus narkoba dan anak muda yang kena, dan (masa) hukumannya juga lama. Kami akhirnya membuat program untuk mereka,” tuturnya.

Ibu-ibu itu, jumlahnya sekitar 150 dari tiga penjara, kini bekerja untuk Lusia. Selayaknya pekerja, mereka menerima gaji.

Lusia Kiroyan dan boneka-boneka yang pakaiannya dihasilkan oleh 150 perempuan narapidana.(dok. pribadi)

Pada 2014, Riza Azyumarridha Azra gelisah menyimak keluhan petani singkong di kota kelahirannya Banjarnegara ketika panen mereka dihargai Rp200 per kilogram, jauh lebih rendah dari biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan ketela-ketela pohon itu. Ia juga melihat indeks pembangunan manusianya terendah se-Jawa Tengah.

Berbasis di kota itu, ia mendirikan Rumah Mocaf Indonesia. Kini, perusahaan itu memberdayakan 600 petani singkong dan keluarga besar mereka yang masuk dalam tiga klaster.

Founder dan co-founder Rumah Mocaf Indonesia Riza Azyumarridha Azra dan Wakhyu Budi Utami: "Menyejahterakan petani singkong."(dok. Rumah Mocaf).

“Klaster pertama, petani singkong. Klaster kedua, ibu-ibu perajin mocaf di desa-desa yang mengolah pasca panen singkong. Dan klaster yang ketiga, anak-anak muda yang tugasnya melakukan quality control, branding, packaging, sertifikasi peizinan, dan melakukan inovasi produk turunan dan kolaborasi dengan beberapa stakeholders dan media.”

Di Makassar, Boedi Julianto memberdayakan orang-orang pesisir yang bertani rumput laut. Ia tidak hanya membantu menjualkan tetapi juga mengembangkan produk turunan rumput laut. Ia menuturkan mengapa memilih jalur sosiopreneur.

Boedi Julianto (ketiga dari kanan): "Penting, keberpihakan pada petani pesisir." (dok pribadi)

“Yang pertama, sebagai Muslim kita sebagai manusia yang bermanfaat bagi sesama dan alam sekitarnya. Itu yang akan menjadi pendorong saya di awal. Kemudian saya juga melihat, usaha-usaha kecil, mikro, kemudian masyarakat pesisir tuh pasti perlu banyak dukungan atau keberpihakan. Sebenarnya juga terkait dengan passion ya, juga dengan latar belakang keluarga. Istilahnya keluarga petani sama pendidik,” ujarnya.

Melalui PT Jasuda (Jaringan Sumber Daya), dengan 40 ribu petani yang mendapat manfaat sejauh ini, Boedi menghasilkan brownies, nugget, dan topping pizza rumput laut, misalnya. Perusahaan itu mengumpulkan data dan mendorong petani menegosiasi harga secara terbuka untuk mendapatkan harga yang adil.

Petani rumput laut binaan PT. Jasuda di Pulau Semau, Nusa Tenggara Timur (dok: Boedi Julianto)

Di Papua dan Nusa Tenggara Timur, Arisman Candra turun naik gunung untuk memberdayakan petani kopi. Rasa kopi mereka luar biasa, kata Aris dari Nu Ko Nu, singkatan dari Nubruk Kopi Nusantara.

“Nu Ko Nu isinya siapa? Ada brand lokal. Ada kopi Tiyom dari Lanny Jaya. Saya bikinkan juga kelompok usaha bersamanya. Ada juga yang berbentuk koperasi,” tukas Arisman.

Aris membawa hasil kopi itu ke Jakarta, memperkenalkannya kepada pakar kopi dan terus bergerak mempromosikannya ke luar negeri. Tidak banyak orang, kata Aris, yang bisa digandengnya untuk mengembangkan potensi Indonesia timur. Bahkan Papua, kata Aris, cenderung dihindari pejabat Jakarta. Alasannya, daerah konflik.

Arisman Candra dari Nu Ko Nu (berkaus putih) memberdayakan petani kopi Indonesia timur. (dok. pribadi)

Pengamat sosial Devie Rahmawati mengatakan praktik bisnis berorientasi pada dampak sosial tidak terlepas dari karakteristik manusia baru dalam era digital.

Pengamat sosial Devie Rahmawati (dok. pribadi)

Menurutnya, berkat teknologi, mereka menjadi masyarakat yang kolektif dan komunal. Kemudian, kesadaran YOLO atau you only live once, mendorong mereka menjadi manusia yang siap menunjukkan kebaikan setiap hari. Faktor ketiga, pandemi membuat mereka semakin sadar bahwa persoalan yang ada harus diselesaikan secara bersama-sama.

“Sebenarnya sudah tidak ada lagi, menurut saya, perbedaan antara sociopreneur dan nosociopreneur karena semua bisnis yang ingin bertahan dan menjadi bagian dari peradaban digital harus bisnis yang secara sistematis bertujuan menyelesaikan persoalan nyata di antara kalangan mereka.”

Intinya, kata Devie, bisnis harus menjadi problem solver bukan sekadar alat memperkaya diri. Dan di balik stigma negatif tentang manusia digital, mereka punya banyak potensi menjadi malaikat-malaikat baru bagi masyarakat dan lingkungan mereka sendiri. [ka/ab]

Your browser doesn’t support HTML5

Para Sosiopreneur Atasi Masalah dengan Berdayakan Masyarakat