Pariwisata Lombok: Gagal Panen di Musim Liburan

  • Nurhadi Sucahyo

Pelabuhan penyeberangan Bangsal di Lombok Utara yang sepi tanpa wisatawan. (Foto: VOA/Nurhadi).

Suasana sepi sangat terasa di kawasan wisata Pantai Senggigi. Deretan hotel, kafe, dan restoran di sepanjang jalan utama tujuan wisata paling terkenal di Lombok ini nyaris tanpa aktivitas. Tak banyak wisatawan lalu lalang. Sejumlah hotel dan tempat makan bahkan terpaksa tutup karena mengalami kerusakan. Pondok ikan bakar yang ada di sepanjang jalan, kosong tak berasap.

Bagi Komaruddin, gempa pada Minggu malam, 5 Agustus lalu juga menjadi bel kematian usahanya. Sebelum gempa, Komaruddin adalah pemasok ikan bagi mayoritas hotel, villa, dan restoran di Senggigi dan sekitarnya. Dia memiliki tujuh mesin peti pendingin ikan, dengan dagangan senilai sekitar Rp 100 juta. Gempa memutus aliran listrik, dan sebelum ikannya membusuk, dia memutuskan membagikan semua ikannya kepada pengungsi di desa-desa sekitar rumahnya.

"Apakah kita akan dapat bayaran dari ikan-ikan yang sudah kita kirim. Saya tidak tahu. Dan itu kapan selesai dibangun dan beroperasi lagi hotel-hotel itu. Itu yang jadi tanda tanya. Mana ikan yang tersisa sudah kita bagi dan yang sudah dikirim masih jalan belum dibayar. Makanya betul-betul total sudah bencana ini," kata Komaruddin.

Perahu-perahu penyeberangan ke Gili Trawangan, Meno dan Air yang menganggur. (Foto: VOA/Nurhadi)

Di pantai-pantai kawasan Lombok Utara yang biasanya penuh, kini tanpa penghuni. Jasa transportasi menuju sejumlah gili, penyewaan jet ski dan papan selancar, serta paket menyelam menutup usaha. Perahu-perahu teronggok begitu saja di tepi pantai.

Suasana sepi juga terekam di di pelabuhan Bangsal, di mana turis biasanya menyeberang ke Gili Trawangan, Meno atau Air. Pemerintah telah menutup ketiga pulau itu dan menggelar patroli rutin untuk memastikan tidak ada lagi wisatawan, setelah sekitar 7 ribu orang di evakuasi Senin pekan lalu.

Wahab, sopir moda pemadu Damri dari Bandara Praya ke Mataram dan Senggigi pun turut merasakan kegetiran yang sama. Minggu pagi, hanya ada dua penumpang di bus yang disopirinya.

“Tak ada ini orang mau datang ke Lombok. Kita saja masih tidur di tenda, apa tamu berani menginap di hotel. Dulu sekali shift saya bisa dapat 50 penumpang bahkan lebih, sekarang Cuma 10-20, itu berat,” kata Wahab kepada VOA.

Hotel-hotel di Mataram juga mengalami tekanan yang sama, terutama yang menawarkan kamar di lantai tinggi. Bangunan tinggi dihindari karena gempa susulan terus terjadi, memaksa tamu naik turun tangga untuk evakuasi. Setelah gempa susulan Kamis siang, banyak tamu memutuskan pindah dari hotel jika mereka menerima kamar di lantai tiga atau lebih.

Suasana berbeda terjadi di hotel kecil. "Kami malah penuh terus, ini hanya satu kamar tersisa. Banyak relawan memilih menginap disini," kata Rizki, staf hotel Hart di Mataram yang memiliki 17 kamar.

Ketua Asosiasi Perjalanan Wisata Asita Nusa Tenggara Barat, Dewantoro Joka kepada VOA mengaku, penurunan wisatawan bisa mencapai 60 persen pasca gempa ini. Angka itu merupakan perkiraan awal, dan akan sangat tergantung pada perkembangan gempa-gempa susulan.

"Mestinya butuh pernyataan dari badan pemerintah, yang bisa dipercaya, sehingga kita bisa meyakinkan calon wisatawan dari luar Lombok. Harus ada data yang benar-benar bisa dipercaya. Itu akan sangat membantu agar wisatawan datang lagi. Itu juga perlu kami sampaikan kepada mitra-mitra kami yang ada di luar negeri," kata Dewantoro Umbu Joka.

Asita menunggu upaya pemerintah untuk menyebarkan informasi yang lebih tepat mengenai gempa Lombok. Tidak hanya bagi masyarakat, tetapi lebih penting lagi dikirimkan ke negara-negara asal mayoritas wisatawan asing yang datang ke Lombok. Asita juga mengusulkan upaya promosi khusus.

"Tiket penerbangan yang lebih murah, atau promo hotel menginap tigamalam bayar duamalam. Sekarang ini, wisatawan datang saja masih takut, jadi kalau tidak ada penurunan harga, sulit mengajak mereka ke Lombok," ujar Dewantoro.

Isu tsunami yang muncul pasca gempa Minggu malam pekan lalu dinilai menjadi awal masa suram wisata di Lombok. Meski tsunami itu tidak terjadi, video yang menggambarkan ribuan wisatawan asing dalam kondisi ketakutan justru menjadi tsunami nyata bagi sektor ini. Apalagi video itu tersebar luas di internet.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) NTB, Lalu Abdul Hadi Faishal kepada VOA heran dengan pihak-pihak yang mendramatisir kondisi itu tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi salah satu penyangga utama ekonomi NTB, yaitu sektor pariwisata.

Namun dia yakin, layanan terbaik yang sudah diberikan dalam proses evakuasi wisatawan asing, akan memberi kesan positif. Komunitas wisata NTB sudah memberikan perhatian penuh dalam masa tanggap darurat itu.

"Seluruh hotel, terutama yang ada di Gili Trawangan, Meno dan Air, itu untuk sementara kita recovery. Dalam rangka membangun sistem yang aman bagi tamu kita, sehingga tidak muncul resiko, misalnya jika ada gempa susulan,"kata pria yang biasa dipanggil Hadi ini.

Your browser doesn’t support HTML5

Pariwisata Lombok: Gagal Panen di Musim Liburan

Hadi menambahkan, sektor pariwisata NTB mengalami beberapa masalah besar belakangan ini, Yang terakhir adalah erupsi Gunung Agung di Bali. Seluruh masa sulit itu, kata Hadi mampu dilewati dengan baik oleh komunitas pariwisata NTB dengan baik. Hanya saja, gempa kali ini dampaknya akan lebih besar.

"Kita sekarang berada di high season, di mana kita tinggal memetik buah yang sudah matang. Tetapi ini memang force majeure, karena itu kita harus menerima ini sebagai keadaan yang harus diterima. Kami akan mengikuti tanggap darurat yang sudah ditetapkan, tetapi kami berharap betul sudah bisa recovery sebelum masa tiga bulan," kata Abdul hadi Faishal.

Tahun 2017 Lombok dikunjungi sekitar 3,5 juta wisatawan, di mana 1,4 juta lebih adalah wisatawan asing. Tahun ini, Lombok menargetkan 4 juta wisatawan. Target optimistis ini kemungkinan tidak akan tercapai. [ns/ab]