Paus Fransiskus mengakhiri lawatannya di Myanmar, Kamis (30/11), dengan misa khusus bagi orang-orang muda sebelum terbang ke Bangladesh, di mana krisis pengungsi Muslim Rohingya diperkirakan akan menjadi sorotan.
Paus sejauh ini menahan diri untuk untuk tidak membicarakan krisis kemanusiaan dengan para pemimpin Myanmar, yang menganggap Rohingya masuk ke negara itu secara ilegal dari Bangladesh dan tidak mengakui eksistensi Rohingya sebagai salah satu kelompok etnis mereka.
Vatikan membela sikap diam Paus dengan mengatakan bahwa paus ingin membangun hubungan dengan negara yang mayoritas penduduknya penganut ajaran Budha itu. Namun, kelompok-kelompok HAM dan Rohingya sendiri menyatakan kekecewaan bahwa paus menahan diri untuk tidak mengutuk apa yang dianggap PBB aksi pembersihan etnis di Myanmar. Paus sendiri dikenal sebagai salah seorang yang dengan keras memperjuangkan hak-hak pengungsi.
Juru bicara Vatikan Greg Burke mengatakan Paus Fransiskus menerima saran dari gereja Katolik di Myanmar untuk bersikap hati-hati dan tidak menyebut-nyebut kata Rohingya selama lawatannya.
Rohingya menghadapi penindasan dan diskriminasi selama puluhan tahun di Myanmar. Mereka tidak diberi status warga negara meskipun banyak di antara mereka telah hidup di sana selama puluhan tahun. Situasi memburuk Agustus lalu setelah militer menggelar operasi pembersihan di bagian utara negara bagian Rakhine menyusul serangan militan Rohingya terhadap pos-pos keamanan dan militer Myanmar. [ab/uh]