Kewenangan yang diberikan negara ternyata bisa menjadi barang dagangan bagi pejabat. Mantan Direktur Jenderal Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, menukar komitmen membantu pengurusan anggaran, dengan menerima suap senilai Rp10,5 miliar.
Tindakan itu dilakukan mantan Dirjen Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, M Ardian Noervianto (MAN). Dia berjanji membantu pengurusan dana pinjaman dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) COVID-19 untuk Kabupaten Kolaka Timur melalui penerbitan surat pertimbangan kementerian.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan pejabat tersebut. Ketua KPK Alexander Marwata mengakui Ardian leluasa meminta kompensasi ke Bupati Kolaka Timur karena kewenangan yang dimilikinya.
“Tersangka MAN, memiliki kewenangan dalam menyusun surat pertimbangan Menteri Dalam Negeri atas permohonan pinjaman dana PEN yang diajukan oleh pemerintah daerah,” kata Alex dalam konferensi pers, Rabu (2/2) petang.
Dengan kewenangan itulah, Ardian berani menyebut angka tiga persen sebagai fee. Menurut Marwata, uang itu diberikan secara bertahap, yaitu satu persen saat dikeluarkannya pertimbangan dari Kemendagri, satu persen saat keluarnya penilaian awal dari Kemenkeu, dan satu persen lagi saat ditandatanganinya MOU antara PT SMI dengan Pemkab Kolaka Timur.
“Diduga tersangka aktif memantau proses penyerahannya meskipun saat itu sedang melaksanakan isolasi mandiri. Di antaranya dengan berkomunikasi dengan beberapa orang kepercayaannya,” tambah Marwata.
KPK menduga kasus ini bisa terjadi karena informasi terkait ketersediaan pinjaman dana PEN bagi penanggulangan COVID-19, tidak diterima merata seluruh kepala daerah. Karena itulah, ada pihak-pihak yang bisa memainkan dana itu, seperti Ardian, dengan janji bisa mengawal pencairan pinjaman kepada daerah.
“Informasi ini tidak tersampaikan kepada kepala daerah. Nanti kami akan berkoordinasi dengan PT SMI, dengan Kementerian Dalam Negeri, dibuka saja persyaratan untuk memperoleh pinjaman PT SMI itu apa, kemudian berapa jumlah yang bisa dipinjam,” kata Marwata.
BACA JUGA: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2021 Naik TipisKPK mendesak pemerintah mengubah pola semacam ini, dan lebih transparan dalam pengelolaan keuangan. KPK juga menyatakan, terbuka kemungkinan modus serupa diterapkan dalam bantuan ke daerah lain, dan berjanji akan menelusurinya.
Daerah Mencari Pinjaman
Kasus ini bermula dari keinginan Bupati Kolaka Timur nonaktif, Andi Merya Nur mencari pinjaman dana program PEN untuk mengatasi dampak pandemi COVID-19 di wilayahnya. Untuk menembus birokasi di pusat, dia meminta Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kabupaten Muna, Laode M. Syukur Akbar bertindak sebagai perantara. Kolaka Timur dan Muna adalah dua kabupaten yang sama-sama berapa di provinsi Sulawesi Tenggara.
Your browser doesn’t support HTML5
Pemerintah pusat menugaskan perusahaan milik negara, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk mengelola program PEN COVID-19. Pemerintah daerah bisa meminjam dana ke SMI, dengan dukungan surat pertimbangan dari Kementerian Dalam Negeri. Surat ini, bisa dikeluarkan oleh Ardian, sebagai Dirjen Keuangan Daerah, namun dia meminta fee 3 persen, dari total rencana pinjaman sebesar Rp 350 miliar.
Untuk tahap pertama, Bupati Kolaka Timur mengirim uang Rp2 miliar dari total fee Rp10,5 miliar. Ardian menerima Rp1,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura, sedangkan Laode kebagian Rp500 juta.
Kemendagri Lepas Kewenangan
Belajar dari kasus ini, Menteri Dalam Negeri M Tito Karnavian telah mengirim surat kepada Menteri Keuangan. Prinsipnya, Mendagri minta pihaknya tidak perlu dilibatkan dalam skema pinjaman daerah kepada pusat melalui PT SMI.
Penjelasan terkait ini dikemukakan Irjen Kemendagri, Tumpak Simanjuntak yang turut hadir di KPK, Rabu (2/2). Dia mengatakan, pihaknya telah melakukan evaluasi urgensi keterlibatan mereka dalam penyaluran dana PEN COVID-19 ini.
“Berdasarkan mitigasi atas potensi-potensi risiko, yang kami nilai dari setiap tahapan kemudian disimpulkan bahwa Mendagri tidak perlu memberikan pertimbangan, karena PT SMI sudah melakukan itu,” kata Tumpak.
Surat resmi terkait itu juga sudah disampaikan ke Kementerian Keuangan.
“Kami sampaikan di sini bahwa Bapak Mendagri telah mengirim surat ke Kementerian Keuangan bahwa tidak perlu lagi keterlibatan Bapak Mendagri dalam memberikan pertimbangan,” tambahnya.
Tumpak juga mengatakan, Kemendagri sebenarnya hanya diberi waktu tiga hari untuk melakukan perhitungan, apakah satu daerah layak diberi pinjaman atau tidak. Durasi itu dinilai juga sangat tidak memungkinkan, untuk menyusun kalkulasi yang komprehensif.
Kasus Ardian, dijanjikan Kemendagri akan menjadi bahan mitigasi untuk mencegah praktik serupa ke depan.
Sederhana dan Transparan
Aktivis antikorupsi dari Malang Corruption Watch, Janwan Tarigan menyebut kondisi ini muncul karena pejabat terkait memiliki diskresi yang tinggi.
“Pemanfaatan diskresi lebih pada kewenangan pejabat Kemendagri yang tidak diatur oleh peraturan, sehingga pengawasannya sangat minim. Sehingga dalam hal memberikan rekomendasi terkait dana PEN, itu bergantung pada pejabat orang-perorang, bukan pada sistem atau kriteria yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan,” kata Janwan kepada VOA.
Tata kelola anggaran dan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, kata Janwan, bersifat integral. Sebagian pendapatan daerah, disetorkan ke pusat, dan sebaliknya, ketika mereka memiliki program tertentu, bisa meminta anggaran ke pusat.
Karena anggaran PEN ada di pemerintah pusat, pemerintah daerah harus melakukan pendekatan khusus, agar dapat mengakses dana tersebut.
“Tetapi, kriteria-kriterianya tidak terbuka dan tidak jelas. Sehingga keputusannya ada di orang tertentu yang memiliki jabatan strategis. Itu yang kita sebut sebagai diskresi yang tinggi,” tambah Janwan.
BACA JUGA: Korupsi Global Meningkat di Tengah 'Penurunan Demokrasi'Janwan Tarigan dari MWC juga mengapresiasi langkah Kemendagri, yang melepaskan kewenangan pemberian surat rekomendasi. Menurutnya, langkah ini penting untuk menyederhanakan proses tata kelola keuangan. Semakin banyak ada pemberhentian, semakin besar potensi terjadi penyimpangan.
Selain itu, transparansi pengelolaan keuangan baik di pusat maupun daerah juga penting diterapkan sejak saat ini.
“Pengawasan publik perlu diperkuat. Prasyarat awalnya, harus ada kemauan politik dari pemerintah daerah maupun pusat untuk membuka anggaran ke publik. Karena seringkali anggaran itu hanya menjadi isu elit yang dipahami pejabat, sementara masyarakat tidak tahu dan tidak bisa berpartisipasi,” paparnya. [ns/ab]