Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua Dinilai Gagal

  • Fathiyah Wardah

Diskusi mengenai otonomi khusus Papua di Jakarta, Selasa, 10 September 2019. (Foto: VOA/Fathiyah)

Pelaksanaan otonomi khusus di Papua dinilai gagal sehingga perlu dievaluasi.

Tiga pekan terakhir ini Papua menjadi sorotan luas setelah meletupnya kerusuhan di beberapa kota, antara lain: Manokwari, Sorong, dan Jayapura. Kerusuhan ini dipicu oleh ujaran bernada rasis terhadap sekelompok mahasiswa di Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Perkembangan terbaru di Papua itu menjadi momentum bagi pemerintah pusat untuk mengevaluasi pelaksanaan otonomi khusus di Bumi Cenderawasih tersebut.

Dalam sebuah diskusi mengenai hal itu di Jakarta, Selasa (10/9), anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Abdul Hakam Naja mengatakan setelah reformasi, Undang-undang Otonomi Khusus Papua adalah yang paling awal dibuat. Disusul oleh Jakarta, Aceh, dan Yogyakarta. Hal ini menunjukkan pemerintah dan DPR memiliki perhatian istimewa terhadap Papua, namun dinilai tetap gagal merespon masalah-masalah yang menyelimuti propinsi yang kaya hasil bumi itu sehingga pendekatannya selalu tidak komprehensif.

Hakam Naja menambahkan pemerintah tadinya berharap pelaksanaan otonomi khusus di Papua dalam dua dasawarsa akan menghasilkan kemajuan pesat di sana.

"Apa yang terjadi hari ini? Saya kira kita melihat Papua adalah daerah yang paling miskin dan bahkan kemiskinannya itu, jika dengan standar nasional, kemiskinannya tiga kali lipat Di Papua 27 persen (tingkat) kemiskinannya, di nasional tujuh persen” ujar Hakam

Your browser doesn’t support HTML5

Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua Dinilai Gagal

Artinya, lanjut Hakam Naja, pemerintah dan DPR tergesa-gesa membuat Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan tidak membuat indikator-indikator ketika menetapkan program dan pendanaan bagi pelaksanaan otonomi khusus di sana. Karena itu, dia menyarankan ada evaluasi dan perbaikan terhadap undang-undang mengenai otonomi khusus di Papua.

Menurutnya pelaksanaan otonomi khusus itu kini tidak sesuai dengan undang-undang. Contohnya undang-undang soal alokasi dana otonomi khusus di sektor pendidikan sebesar 30 persen dan 15 persen di bidang kesehatan. Tapi kenyataannya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua adalah yang paling rendah di Indonesia.

BACA JUGA: Bertemu Jokowi di Istana, Tokoh Papua Ajukan 9 Permintaan

Hakam Naja menekankan pemerintah jangan lagi memusatkan perhatian pada pembangunan infrastruktur di Papua, namun yang lebih penting adalah pembangunan kualitas sumber daya manusianya. Ia curiga infrastruktur itu hanya bermanfaat bagi para pemodal yang ingin mendapatkan akses ke sumber-sumber ekonomi di Papua.

Anggota DPD Nilai UU Otonomi Khusus Papua Sudah Baik, Tapi Belum Cukup Untuk Menyelesaikan Masalah

Sementara itu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi Papua Barat Mervin S. Komber menilai rumusan UU Otonomi Khusus Papua sebenarnya sudah bagus, terutama soal pembentukan Majelis Rakyat papua (MRP), yang merupakan perwakilan seluruh suku yang terdapat di Papua. Namun sayangnya, ujar Mervin S. Komber, sejak beleid itu disahkan 18 tahun lalu, baru satu peraturan pemerintah yang dikeluarkan pada 2004 mengenai MRP.

BACA JUGA: Dialog Jakarta-Papua Harus Segera Dilakukan

"Padahal kalau kita mau konsekuen melaksanakan undang-undang otonomi khusus, tiddak mungkin terjadi masalah, tidak mungkin ada gejolak. Kalau kita konsekuen melaksanakannya maka kemiskinan saya pikir akan berkurang," ujar Mervin.

Wakil Ketua Komisi I DPR Satya W. Yudha menegaskan pemerintah perlu menyelesaikan persoalan kebatinan di dalam masyarakat Papua, yakni perasaan bahwa mereka lebih terikat dengan persaudaraan Melanesia ketimbang menyatu dengan Indonesia.

"Kalau pemerintah menggelontorkan sebesar apapun dana yang diberikan tetapi mempunyai rasa kecurigaan karena adanya rasa oersahabatan Meanesia yang besar dan mereka tidak merasa bagian dari NKRI, yang menjadi tidak ada rasa saling percaya. Kita harus menumbuhkan kepercayaan," tutur Satya.

Satya menambahkan selama 2002-2018 pemerintah pusat telah mengucurkan dana 98,395 triliun untuk papua. Anggaran ini masih ditambah dengan bagi hasil dari minyak dan gas, sehingga total dana buat Papua mencapai Rp 105 triliun. [fw/em]