Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutuk keras aksi teror bom bunuh diri yang terjadi hari Minggu Siang (25/9) di Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS), Solo, Jawa Tengah.
Presiden Yudhoyono dalam keterangannya di depan pers di Jakarta hari Minggu sore, mengatakan satu jam setelah peristiwa pemboman itu terjadi, dirinya telah berkomunikasi dengan Kapolda Jawa Tengah dan Kapolri yang memberi laporan langsung dari tempat kejadian.
“Atas nama negara dan pemerintah saya mengutuk keras atas aksi terorisme kejahatan luar biasa yang bersifat tanpa pandang bulu ini yang terjadi lagi di negeri kita. Kepada yang luka-luka, sebagaimana biasanya negara dalam hal ini pemerintah akan memberikan tanggungan atau bantuan pengobatan dan perawatan sampai selesai,” demikian pernyataan Presiden.
Bom bunuh diri di tempat peribadatan ini menurut Presiden merupakan kejadian kedua setelah kurang lebih enam bulan lalu terjadi aksi pemboman serupa di sebuah masjid di jajaran Polresta Cirebon. Berdasarkan hasil investigasi sementara, pelaku bom bunuh diri ini adalah anggota dari jaringan Cirebon.
Presiden SBY menambahkan, “Investigasi sementara yang kita lakukan, pelaku pembom bunuh diri ini adalah anggota dari jaringan teroris Cirebon. Meskipun masih akan terus dilanjutkan investigasi yang lebih menyeluruh, saya instruksikan investigasi lanjutan harus segera dilakukan secara intensif untuk mengetahui dan membongkar habis rangkaian jaringan pelaku teror di Cirebon dan di Solo, termasuk dana yang dikeluarkan, pemimpin atau juga penggerak dari aksi terorisme itu.”
Ledakan bom di gereja Protestan ini telah menewaskan satu orang yang diduga sebagai pelaku pemboman dan mencederai sejumlah jemaat lainnya.
Mengomentari pernyataan pemerintah bahwa bom Solo memiliki keterkaitan dengan jaringan teroris di Cirebon, pengamat intelijen, Mardigu Wowiek Prasantyo, menyayangkan tidak adanya upaya dari pemerintah untuk melakukan tindakan pencegahan.
“Jadi saya mempertanyakan, bahwa kalau sudah tahu kenapa gak diantisipasi, kok didiemin, Geng Cirebon itu masih menyerang. Hal ini berarti kebobolan secara intelijen, kebobolan secara strategi, polisi kebobolan, dan BNPT kebobolan,” ungkap Mardigu.
Sementara, pengamat Sosial Keagamaan dari Universitas Paramadina, Ihsan Ali-Fauzi memandang peristiwa bom Solo, merupakan indikasi dari masih kuatnya gerakan radikal keagamaan di Indonesia. Mereka adalah kelompok-kelompok yang tidak bisa menerima perbedaan dalam masyarakat sehingga terdorong untuk melakukan tindakan pembunuhan.
Ihsan Ali-Fauzi mengatakan, “Kalau kita telisik-telisik hulunya itu adalah ideologi radikal, yang merasa bahwa perbedaan itu tidak boleh ada dan harus disingkirkan. Kalau situasinya seperti sekarang ini, di mana korupsi kita dengar setiap hari, orang ketawa-ketawa melihat korupsi, nah ideologi itu makin memperoleh kebenarannya.”