Bagi K.H. Marzuki Wahid dari Fahmina Institute, Cirebon, Jawa Barat, ajaran agama seyogyanya selaras dengan prinsip keadilan. Karenanya, jika ada yang melakukan kekerasan terhadap perempuan dengan alasan agama, hal itu tidak dapat dibenarkan.
“Aborsi yang dipaksakan, domestikasi perempuan, mereka menggunakan agama sebagai legitimasi. Bahkan ada yang mengaggap boleh menggunakan kekerasan kalau untuk kepentingan pendidikan,” ujarnya dalam diskusi virtual, Jumat (26/6) siang.
Menurut dosen di IAIN Cirebon ini, kekerasan terhadap perempuan juga didorong oleh budaya patriarki, di mana laki-laki mengontrol banyak aspek kehidupan. "Budaya dan ideologi patriarki yang memang saya kira tidak bisa diingkari, itu menjadi problem terbesar hari ini,” tandasnya.
Hal senada diutarakan Pendeta Dr. Darwita Purba, Ketua Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati). Dia mengatakan, beberapa kisah dalam Alkitab pun dipakai sebagai pembenaran melakukan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu yang sering dipakai, ujarnya, adalah Efesus 5 Ayat 22 yang menyuruh perempuan tunduk kepada suami.
"Ini yang sering sekali dipergunakan untuk melegitimasi kekerasan terhadap perempuan, ketika perempuan itu tidak sependapat atau tidak setuju kepada laki-laki atau suami. Lalu dikatakan, Alkitab mengatakan perempuan harus tunduk kepada suami,” pungkasnya dalam kesempatan yang sama.
Di sisi lain, tambah Darwita, perempuan kerap dianggap sebagai sumber dosa di dalam Kekristenan. Hal ini tercermin dari berbagai pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Amrosius, Thomas Aquinas, Luther, dan Calvin. “Bagaimana mereka memposisikan perempuan sebagai makhluk yang direndahkan, dianggap sebagai sumber dari dosa. Tentu ini adalah refleksi mereka atas teks-teks Alkitab yang sudah mereka baca dan renungkan,” tambahnya.
Darwita menjelaskan, dalam Alkitab ada sebuah kisah tentang persetubuhan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki. Namun seluruh kesalahan seolah dilimpahkan pada pihak perempuan saja. "Jadi perempuan itu dibawa kepada Yesus karena zina, dan mereka mau melempar perempuan itu dengan batu, merajam. Tapi di dalam teks tidak disebutkan laki-laki yang turut berzina dengan dia apakah juga diperhadapkan kepada Yesus,” ujarnya.
BACA JUGA: Pembunuhan Demi Pertahankan Martabat di Bantaeng, Menguatnya Kembali Budaya Siri?Butuh Paradigma Baru
Melihat situasi tersebut, Darwita mengatakan perlu pemaknaan ulang atas kisah-kisah dalam Alkitab yang melanggengkan patriarki. “Karena seringkali teks-teks agama yang dipakai untuk melegitimasi kekerasan itu sendiri. Kemudian kita merekonstruksi pandangan atau ajaran, aturan-aturan yang sangat bias gender dan androsentris (berpusat pada laki-laki),” tambahnya.
Dalam membaca ulang isi Alkitab, ujarnya, penting untuk mengutamakan prinsip kasih. Selain itu, Kristus mengajarkan bahwa tubuh adalah Bait Allah yang harus dihormati. "Ketika seorang melakukan kekerasan terhadap perempuan, gender atau seksualitas lainnya, juga perempuan kepada laki-laki, maka sesungguhnya kita sedang merusak Bait Allah itu,” tegasnya lagi.
K.H. Marzuki pun sepakat soal penafsiran kembali teks agama itu. Dia menegaskan, Islam sejatinya mengajarkan penghormatan harkat dan martabat kepara perempuan dan laki-laki. Islam pun memberi perhatian khusus kepada perempuan. “Meskipun sebetulnya laki-laki juga kalau jadi korban dan sasaran kekerasan harus kita bela dan advokasi. Kenapa bukan lelaki yang dimunculkan? Karena mayoritas korban dan sasaran kekerasan adalah perempuan. Di sinilah perempuan diberi affirmative action policy,” tandasnya.
Marzuki menggarisbawahi, Islam jelas melarang kekerasan terhadap perempuan. "Kalau ada ajaran agama bertentangan dengan keadilan, kesetaraan, dan kasih sayang, dan tidak membebaskan, maka sesungguhnya itu bukan ajaran agama, itu keluar dari nafsu dan emosinya,” tambah Marzuki.
BACA JUGA: YouTube Hentikan Siaran Live Soal Agama dan Keberagaman GenderFaktor Budaya Sangat Penting
Sejumlah riset di berbagai negara seperti Irak, Kanada, dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa pemahaman agama tertentu memiliki hubungan kuat dengan kekerasan terhadap perempuan. Penelitian-penelitian ini melihat bagaimana teks-teks agama Islam dan Kristen digunakan untuk membenarkan kekerasan terhadap perempuan.
Di Indonesia, beberapa studi juga mendukung temuan ini. Sebuah kajian berjudul “Islam dan Kekerasan terhadap Perempuan” menyebut bahwa konstruksi budaya dan penafsiran para ahli agama menjadi faktor krusial ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Kajian yang diterbitkan Jurnal Religio UIN Sunan Ampel Surabaya ini menyebutkan, pemahaman keagamaan tertentu akhirnya mengesahkan teks-teks kekerasan dalam kitab suci.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengungkap, faktor sosial budaya memang menjadi salah satu penyebab kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan, di samping faktor individu, faktor pasangan, dan faktor ekonomi. Hal itu berdasarkan pada Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang terbit tahun 2016.
Di sisi lain, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2019. Lembaga negara independen ini mencatat, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% dalam kurun waktu 12 tahun. [rt/em]