Melawan nyamuk dengan nyamuk. Itulah inti dari strategi penurunan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang diterapkan di Yogyakarta. Bedanya, nyamuk baru ini telah dibekali bakteri Wolbachia di dalam tubuhnya.
Pemanfaatan wolbachia telah berhasil menurunkan jumlah kasus DBD di Kota Yogyakarta sebesar 77 persen tahun lalu. Jumlah kasus yang harus masuk rumah sakit, bahkan turun hingga 86 persen.
Dalam enam bulan terakhir, tim World Mosquito Programme (WMP) Yogyakarta telah menyebar lebih dari 21 ribu ember berisi telur nyamuk Aedes aegypti. Diagnostic Team Leader WMP Yogyakarta, dr. Eggi Arguni, Sp.A.(K), Ph.D memaparkan, dari ember inilah nyamuk baru akan menetas. Nyamuk baru itu memiliki kandungan bakteri wolbachia di dalamnya.
“Dia akan terbang keluar dari ember, akan kawin dengan nyamuk lain di sekitarnya dan wolbachia akan diturunkan ke anakan nyamuknya. Dalam enam bulan kita harapkan proporsi nyamuk ber-wolbachia ini sudah cukup tinggi, sehingga bisa kita stop pelepasannya,” kata Eggi di Yogyakarta, Jumat (28/1).
Butuh Riset Panjang
Bakteri wolbachia berfungsi menghambat perkembangan virus demam berdarah. Nyamuk yang menetas dari telur-telur yang dikembangkan di laboratorium WMP Yogyakarta ini, memang sengaja dilepas agar kawin dengan nyamuk demam berdarah. Proses itulah yang pelan-pelan akan mengeliminasi virus demam berdarah.
Penelitian ini pertama kali dikembangkan di Australia. Prof Adi Utarini merintis penerapannya di Yogyakarta sejak 2011. Dalam sepuluh tahun, teknik ini membuahkan hasil, terutama pada penerapan skala wilayah kecil di Yogyakarta. Adi Utarini sendiri dipilih oleh majalah TIME sebagai satu dari seratus orang paling berpengaruh di dunia pada 2021. Sementara pada 2020, jurnal ilmiah dunia Nature, mempublikasikan Nature’s 10: ten people who helped shape science in 2020, dengan Adi Utarini menjadi salah satunya.
Dalam pengembangan program ini di Sleman, Yogyakarta, tim menyampaikan bahwa secara akumulasi nyamuk ber-Wolbachia di wilayah tersebut telah berkembang dengan baik dan stabil dengan persentase yang tinggi. Secara alami, nyamuk yang terus kawin akan menaikkan persentase nyamuk ber-wolbachia di alam.
“Wilayah-wilayah yang sudah tidak dilepaskan nyamuk, walaupun dengan persertase 60 persen, tetapi karena wilayah di sekitarnya lebih tingi, maka wilayah ini nanti persentasenya akan tinggi juga,” kata Eggi.
WMP telah menitipkan ember berisi telur nyamuk sejak Agustus 2021. Warga yang menerima ember ini, disebut sebagai Orang Tua Asuh. Selain di rumah warga, sebaran ember telur nyamuk juga ditempatkan di sejumlah fasilitas umum.
“Setelah penarikan ember yang telah dititipkan di rumah Orang Tua Asuh dan fasilitas umum dalam periode enam bulan, masih akan dilakukan monitoring wolbachia sebanyak dua kali, untuk melihat bagaimana perkembangan nyamuk ber-wolbachia,” tambah Eggi.
Berhasil di Sejumlah Tempat
Wakil Bupati Sleman, Danang Maharsa mengaku tidak mudah memahamkan masyarakat, bahwa nyamuk bisa dilawan dengan menyebarkan nyamuk.
“Riset ini memerlukan waktu yang lama dan tidak mudah. Banyak masyarakat awalnya menolak karena lucu, mengatasi demam berdarah dengan nyamuk. Namun, setelah riset ini berjalan, hasilnya bahkan bisa melebihi target,” kata Danang.
Ember itu sendiri telah disebut di 13 kapanewon (kecamatan), 20 Puskesmas, dan 39 kalurahan. Sleman berharap, upaya ini akan membawa hasul. Pada 2020, kabupaten ini masih harus bergelut dengan 810 kasus DBD, dengan kematian dua di rumah sakit.
BACA JUGA: Studi di Yogyakarta Beri Harapan untuk Akhiri Penyakit DBKarena nyamuk tidak mengenal kewilayahan, Danang berharap ke depan seluruh kecamatan dan wilayah kabupaten tetangga mereka, ikut menerapkan strategi serupa.
“Harapannya, dampak yang dihasilkan terhadap penanganan kasus DBD dapat diperoleh secara masif,” tambahnya.
Sejumlah negara, seperti Brazil dan Vietnam juga telah menerapkan strategi yang sama dalam melawan DBD. Ada setidaknya tujuh juta kasus DBD setiap tahun di seluruh dunia, sehingga diperlukan terobosan dalam mengatasinya. Ketika ilmuwan Australia menemukan fakta, bahwa wolbachia yang hidup di sekitar 70 persen serangga, tidak ditemukan di nyamuk, dia menduga bakteri tersebut akan berperan besar. Setidaknya, dalam sepuluh tahun pengalaman WMP di Yogyakarta, hal itu terbukti benar.
Terus Menyebar di Indonesia
Teknologi ini juga akan segera disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia. Pusat Kedokteran Tropis FKKMK UGM, bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dalam upaya ini.
Oktober lalu, telah dilakukan pertemuan tim pengembang teknologi bersama perwakilan dari delapan pemerintah kabupaten/kota yang terpilih.
WMP memastikan, penelitian teknologi wolbachia dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Hasil penelitiannya telah diterbitkan di jurnal ilmiah, the New England Journal of Medicine (NEJM) dan menjadi salah satu teknologi yang direkomendasikan oleh Vector Control Advisory Group (VCAG) WHO.
BACA JUGA: Wolbachia Turunkan Kasus Demam Berdarah Hingga 77 PersenKemenkes sendiri mengakui DBD menjadi salah satu fokus penanganan dalam program jangka menengah hingga 2024. Pemerintah berkomitmen, 90 persen kabupaten/kota memiliki incident rate kurang dari 49 per 100.000 penduduk pada 2024.
Karena itulah, Kemenkes bekerja sama dengan WMP untuk menaikkan kapasitasi pemerintah daerah dalam menjalankan upaya penanggulangan dengue melalui teknologi wolbachia.
Menurut Prof Adi Utarini, delapan kabupaten/kota yang terlibat kali ini adalah Medan, Bandar Lampung, Jakarta Barat, Bekasi, Kota Bandung, Semarang, Gianyar, dan Kupang. Program pembelajaran ini sendiri akan berlangsung hingga akhir tahun ini. Diawali dengan roadshow dan training need assessment pada Oktober-November 2021 lalu. Sejak Desember 2021 hingga Februari 2022 dilakukan penyusunan kurikulum dan materi pembelajaran.
“Pelatihan komprehensif dan diikuti dengan program magang selama dua minggu di Yogyakarta akan diselenggarakan Maret-Mei 2022, serta workshop rencana strategi implementasi di empat kabupaten/kota terpilih pada Juli-Oktober 2022,” kata Adi Utarini. [ns/ah]