Israel meneruskan rencana membangun 1.000 unit rumah baru untuk warga Yahudi di Yerusalem Timur yang disengketakan, di atas lahan yang diklaim Palestina akan menjadi bagian negaranya pada masa depan.
Yariv Openheimer dari gerakan Peace Now di Israel mengatakan pembangunan permukiman itu menghancurkan harapan menghidupkan kembali proses perdamaian.
"Kalau pemerintah (Israel) membuat keputusan membangun permukiman, itu benar-benar mengubah kenyataan di lapangan untuk waktu lama; dan melakukan hal itu mencegah tercapainya solusi dua negara," ujar Openheimer.
Langkah itu diambil selagi ketegangan meningkat antara warga Yahudi dan Arab di Yerusalem menyusul perang selama 50-hari tahun ini antara Israel dan kelompok militan Palestina Hamas di Gaza. Kekerasan harian terjadi di lingkungan warga Arab, di mana para pemuda yang melempar batu bentrok dengan polisi Israel dan merusak properti umum.
Ketegangan meningkat pekan lalu ketika seorang warga Palestina menabrakkan mobilnya ke kerumunan orang di stasiun kereta api di Yerusalem, menewaskan seorang bayi dan mencederai beberapa orang lainnya. Polisi menggambarkannya sebagai "serangan teroris."
Sementara, aktivis permukiman Yahudi, Yisrael Meidad, menyambut baik rencana pembangunan permukiman itu dan memuji Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang dengan teguh melawan oposisi domestik dan internasional.
"Mengingat banyaknya tekanan yang dihadapinya dari orang-orang aliran politik tengah-kiri dan perselisihan pendapat antara kami dan Amerika selama setahun terakhir, keputusan Netanyahu untuk membangun permukiman itu adalah langkah ke arah yang tepat," ungkap Meidad.
Amerika telah berulang kali mendesak Israel supaya jangan melakukan perluasan permukiman, dan menggambarkannya sebagai hambatan bagi perdamaian.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan hari Senin, Israel "berhak penuh" memperluas permukimannya di kawasan pendudukan di Tepi Barat, meskipun Amerika dan masyarakat internasional tidak mengakui aneksasi Israel atas Yerusalem timur. Sekitar 500 ribu orang Yahudi tinggal di permukiman itu di antara 2,5 juta warga Palestina.
Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah menolak sikap Israel itu dan mengatakan pendudukan nantinya akan berakhir. Otorita Palestina menuduh Israel melakukan "kejahatan" yang bisa dihukum berdasarkan hukum internasional.