Seorang anggota militer Indonesia ditikam hingga tewas dalam kekerasan terbaru di propinsi Papua. Sedikitnya tujuh insiden penembakan dilaporkan terjadi bulan ini.
Para pejabat berharap konfrontasi akan berkurang setelah konferensi perdamaian bulan Juli lalu. Perundingan antara beberapa pejabat dan kelompok lokal Papua bertujuan untuk meredam konflik antara militer Indonesia dan gerakan separatis bersenjata yang telah memperjuangkan kemerdekaan wilayah itu sejak tahun 1969.
Muridan Widjojo adalah salah satu penyelenggara konferensi itu, seorang cendekiawan suku Jawa yang dibesarkan di Papua dan saat ini menjadi peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dia mengatakan meningkatnya kekerasan tersebut adalah sebagian reaksi kelompok garis keras dari kelompok gerakan separatis dan militer Indonesia yang menolak kompromi apa saja.
“Kelompok pro-kemerdekaan berkepentingan untuk menyampaikan kepada dunia luar bahwa ada yang salah di Papua dan mereka masih disana. Mereka ada di Papua. Mereka masih berjuang. Dan di pihak lembaga keamanan mereka bisa mengatakan, lihatlah, Papua belum stabil dan Papua masih melakukan perlawanan kuat, dan tidak stabil, dan kami perlu berada di Papua,” ujar Widjojo.
Tahun 2001 pemerintah pusat memberi Papua status otonomi khusus, yang memberikan pemerintah lokal kontrol yang lebih kuat atas pendapatan pajak, tetapi sedikit dampaknya terhadap angka kemiskinan, dan kelompok HAM melaporkan pasukan keamanan Indonesia terus melakukan penganiayaan di Papua.
Propinsi itu kaya akan sumber daya alam dan merupakan lokasi pertambangan emas dan tembaga perusahaan Amerika, Freeport McMoRan . Ketegangan antara pekerja dan pasukan keamanan disana telah memicu kekerasan.
Widjojo mengatakan konferensi perdamaian yang diadakan bulan Juli lalu adalah sebuah upaya untuk meredakan ketegangan dan mencari persamaan. Wakil-wakil Papua dan pejabat-pejabat Indonesia menghadiri konferensi itu. Widjojo mengatakan tujuan jangka panjangnya adalah untuk membuat kedua pihak menyetujui jalan keluar yang mirip dengan perjanjian damai Aceh yang ditandatangani tahun 2005 lalu. Perjanjian itu dicapai setelah tsunami tahun 2004 dan mengakhiri 30 tahun konflik bersenjata disana. Perjanjian itu mengganti militer Indonesia dengan polisi untuk menjaga keamanan tetapi propinsi itu tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Lebih lanjut ia mengatakan konferensi itu adalah sebuah langkah yang tepat. Tetapi International Crisis Group sebuah lembaga resolusi konflik independen mengatakan dalam sebuah laporan baru-baru ini bahwa konferensi itu tidak menjembatani apapun. Lembaga itu mengatakan pejabat-pejabat pemerintah menawarkan jaminan konstruktif yang tidak jelas tetapi terkejut karena Papua menuntut perundingan formal yang dimediasi pihak ketiga dari kalangan internasional.
Don Flassy menghadiri konferensi itu sebagai bagian dari gerakan pro-kemerdekaan. Dia mengatakan tidak kurang dari kemerdekaan yang dapat memuaskan rakyat Papua.
Djoko Suyanto, Menteri koordinasi politik, hukum dan keamanan adalah pejabat pemerintah tertinggi yang menghadiri konferensi itu. Juru bicaranya Bambang Sulistyo mengatakan pemerintah menolak permintaan apapun yang melibatkan keterlibatan internasional, menolak kebutuhan akan perundingan dan mengatakan akan berfokus untuk membuat status otonomi khusus saat ini lebih efektif.
Dia mengatakan pemerintah menilainya sebagai masalah sosial, kesejahteraan dan sedikit masalah politik dan mengemas pendekatan percepatan pembangunan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
International Crisis Group mengatakan rancangan keputusan percepatan pembangunan ini telah mendekam di meja Sekretaris Kabinet dalam tiga bulan ini. Mendesak diambilnya tindakan segera untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang melatarbelakanginya.
Widjojo tidak berputus asa karena kemajuan kurang tercapai. Dia mengatakan perundingan damai membutuhkan terbangunnya kepercayaan dari waktu ke waktu supaya kedua pihak melepaskan posisi garis keras mereka.
“Kalau kita belajar dari proses perdamaian Aceh misalnya, pada awalnya usulannya hampir sama, bahwa Gerakan Aceh Merdeka juga membicarakan mengenai kemerdekaan. Dan itu membutuhkan perundingan-perundingan informal, untuk membuka kemungkinan kompromi," ujar Widjojo.
Namun ia mengatakan ragu akan tercapainya kemajuan jangka pendek karena kurangnya kepemimpinan dari pemerintah Indonesia dan rencana pemimpin Papua untuk mengadakan kongres untuk menyatakan kembali tujuan mereka bagi kemerdekaan.