Jauh sebelum matahari terbit, Senin (21/6), rakyat Ethiopia di ibu kota mengantre untuk memberikan suara pada pemilihan pertama negara itu dalam enam tahun. Perdana Menteri Abiy Ahmed mengatakan pemungutan suara itu akan menjadi "upaya pertama negara itu untuk pemilihan yang bebas dan adil."
“Saya datang lebih awal untuk memilih siapa yang saya yakini akan membawa masa depan cerah bagi kita,” kata Tenaye Melkamu yang mengenakan topi rajut merah muda dan syal tebal.
BACA JUGA: Oposisi Ethiopia Tuduh Pemilu dicurangiSekarang, para pejabat sedang menghitung surat suara dalam persaingan pemilihan perdana menteri pertama setelah lebih dari tiga tahun menjabat. Sementara Ethiopia menunggu hasil, wilayah utara Tigray kembali dilanda kekerasan saat perang mendekati kurun waktu delapan bulan.
“Tidak ada yang bergerak sekarang,” kata seorang pemuda kepada VOA dari rumahnya di Tigray, setelah menjelaskan kekacauan dan ketakutan selama satu setengah hari. Ia tidak mau disebutkan namanya demi alasan keamanan. Tiga militer yang berbeda telah menguasai kotanya dalam dua hari terakhir, yang katanya menghancurkan beberapa rumah dan menewaskan tiga orang.
Di bagian lain Tigray, Reuters melaporkan saksi mengatakan bom yang dijatuhkan oleh satu pesawat menewaskan puluhan orang dan melukai puluhan lainnya. Jalan menuju ibukota wilayah itu, Mekelle, juga ditutup, menghalangi pasien yang terluka mencapai rumah sakit utama.
BACA JUGA: Dirjen WHO: Situasi di Tigray, Ethiopia, ‘Mengerikan’Di ibukota, Addis Ababa, Rabu, jalan-jalan tenang dan warga tampak agak lega. Pemungutan suara sempat tegang dengan banyaknya warga yang menunggu berjam-jam karena tidak adanya surat suara dan petugas pemilu.
Hingga Senin malam, setelah TPS-TPS seharusnya ditutup, jutaan calon pemilih di beberapa daerah masih menunggu untuk mencoblos. [my/jm]