Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperluas area pemakaman korban COVID-19 di ibu kota. Saat ini Pemprov sudah mebuka enam lokasi kuburan baru, dan tiga di antaranya sudah digunakan. Kebijakan ini diterapkan seiring dengan meningkatnya jumlah kematian akibat virus corona.
"Dalam dua minggu terakhir, dan dalam beberapa bulan terakhir, telah terjadi lonjakan di beberapa daerah di mana penguburan dilakukan dengan protokol (COVID-19)," kata Ivan Nurcahyo, juru bicara Dinas Pertamanan DKI Jakarta.
Pemerintah telah berjuang untuk mengendalikan COVID-19 sejak Maret. Namun jumlah infeksi masih terus melejit, bahkan telah melampaui satu juta kasus yang dikonfirmasi dan lebih dari 30 ribu kematian. Angka tersebut merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara.
Meningkatnya angka kematian, yang menurut para ahli kesehatan masyarakat kemungkinan realisasinya lebih lebih tinggi daripada angka resmi, membuat korban COVID-19 dapat dimakamkan di makam keluarga untuk menghemat area pemakaman yang disediakan pemerintah.
"Saat ini, di pemakaman lain, kami menawarkan opsi yang disebut 'sistem tumpukan' di mana korban bisa dimakamkan bersama dengan anggota keluarga atau kerabatnya," katanya. Ivan menambahkan opsi itu hanya berlaku jika jenazah baru "ditumpuk” di atas seorang kerabat yang telah meninggal lebih dari lima tahun lalu.
Di Pemakaman Rorotan, Jakarta Utara, Rabu (3/2), buldoser sibuk membersihkan lahan untuk menambah kavling.
“Sebagian areanya akan digunakan sebagai pemakaman umum dan kami juga sedang menyiapkan areal kuburan baru yang besar (untuk COVID-19),” kata Nurcahyo. "Di Rorotan ada luas sekitar 25 hektar dan rencananya kami alokasikan 8.000 meter persegi."
Sebarkan GeNose di Stasiun-stasiun Kereta
Sementara itu Reuters melaporkan pemerintah, Rabu (3/2), meluncurkan cara baru untuk menskrining COVID-19 di stasiun-stasiun kereta demi menekan laju penyebarannya. Pendeteksian itu dilakukan dengan cara menggunakan alat yang bernama GeNose.
BACA JUGA: Satgas: PPKM Tidak Berhasil Karena Masyarakat Tidak Taat ProkesGeNose, yang diinisiasi oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) diharapkan dapat mendeteksi reaksi antara virus corona dan jaringan tubuh di saluran pernapasan dengan akurasi setidaknya 95 persen.
Subjek diminta untuk meniup ke dalam tas dan hasilnya tersedia hanya dalam dua menit.
Tes pernapasan yang serupa dengan COVID-19, SpiroNose, yang dikembangkan oleh perusahaan teknologi kesehatan Belanda, sedang diluncurkan di Belanda untuk mempercepat proses pengujiannya.
GeNose menjalani uji klinis di rumah sakit Yogyakarta pada Mei 2020 dan disetujui untuk didistribusikan pada Desember. Ini berbeda dari tes usap polymerase chain reaction (PCR) dan tes cepat yang mengekstraksi darah dengan tusukan jari.
Inventor GeNose, Kuwat Triyana, mengatakan alat tersebut dijual dengan harga Rp68 juta. Cara kerjanya adalah dengan ditanamkan dengan memori hasil tes usap PCR positif.
“Alat ini menyesuaikan fungsi hidung manusia atau hidung anjing pelacak, yaitu untuk mengenali penciuman, atau dalam hal ini untuk mengenali bau nafas seseorang yang terkonfirmasi COVID, dibandingkan dengan orang yang tidak," kata Kuwat.
Mereka yang positif diharuskan menjalani tes PCR untuk mengkonfirmasi.
Meskipun memiliki kekurangan, ini dapat membantu upaya pendeteksian, kata Dicky Budiman, seorang ahli epidemiologi di Griffith University.
"Di atas kertas memang menjanjikan dan berpotensi, menurut saya. Tapi implementasinya relatif tidak mudah," katanya, seraya menambahkan mesin perlu diprogram dengan data yang tepat agar akurat. [ah/au]