Mahkamah Agung Sabtu pekan lalu mencabut Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi, narkotika dan terorisme.
Khusus Pasal 34A ayat 1, peraturan itu mensyaratkan dua hal bagi narapidana kasus korupsi yang ingin mendapatkan remisi, yaitu bersedia menjadi justice collaborator, dan membayar lunas denda serta uang pengganti.
Menanggapi keputusan Mahkamah Agung tersebut, pakar hukum pidana di Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai pencabutan aturan yang mengatur pengetatan pemberian remisi, termasuk bagi koruptor, menjadi bukti turunnya semangat pemberantasan korupsi di kalangan hakim agung.
Your browser doesn’t support HTML5
Padahal, lanjut Abdul Fickar, peraturan pemerintah itu seharusnya menjadi benteng terakhir bagi penegakan hukum untuk mengurangi keberanian orang untuk melakukan korupsi.
"Karena pencabutan (peraturan pemerintah) itu, tidak ada lagi pembedaan antara tindak pidana korupsi dengan kejahatan pada umumnya. Padahal di sisi yang lain, tindak pidana korupsi itu diletakkan sebagai tindak pidana yang khusus, tindak pidana yang luar biasa, sehingga penegakkannya pun harus luar biasa," kata Abdul Fickar.
Ditambahkannya, pembedaan antara pelaku korupsi dengan kejahatan lainnya diantaranya karena kejahatan korupsi tersebut merugikan masyarakat secara luas.
BACA JUGA: Survei SMRC: Pemberantasan Korupsi Memburuk dalam 2 Tahun Kinerja Jokowi- Ma'rufMenurut Abdul Fickar, pencabutan Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 dapat berpotensi meningkatkan korupsi, terutama pada kegiatan-kegiatan atau proyek yang menggunakan anggaran negara. Sebab tidak ada lagi pihak yang ketat mengawasi khususnya pengakan hukum, ancaman hukuman dan pemberatannya.
Keputusan MA itu juga dinilai akan mengembalikan paradigma lama di mana pengawasan tidak lagi menjadi alat yang tajam untuk menghentikan korupsi karena tidak mustahil pelaku akan memborong remisi dengan berbagai alasan.
Untuk itu guna menguatkan upaya pemberantasan korupsi, Abdul Fickar menilai harus ada kepekaan penegak hukum, baik di Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengajukan tuntutan hukuman maksimal terhadap koruptor; maupun di kalangan para hakim yang juga harus berkomitmen untuk memberantas korupsi. Juga tentunya peningkatan kemampuan penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi sampai ke akar-akarnya tanpa mengandalkan bantuan justice collaborator.
Hal senada disampaikan peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana yang mengatakan keputusan Mahkamah Agung itu memperlihatkan kembali ketiadaan dukungan dari lembaga kekuasaan kehakiman terhadap pemberantasan korupsi, sehingga nantinya narapidana kasus korupsi sangat mudah mendapatkan remisi.
"Bagi ICW, PP No.99 Tahun 2012 itu merupakan regulasi yang sangat progresif dan berkesesuaian dengan pemaknaan korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang mana membutuhkan cara-cara yang luar biasa. Satu di antaranya memperketat syarat untuk memberikan remisi kepada narapidana kasus korupsi," ujar Kurnia.
Selain itu tambah Kurnia, putusan Mahkamah Agung juga memperlihatkan inkonsistensi terhadap putusan-putusan sebelumnya, karena pada tahun 2013 dan 2015, Mahkamah Agung sudah menyatakan PP No. 99 Tahun 2012 itu konstitusional.
Bahkan, dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung menyatakan PP No. 99 Tahun 2012 sudah sesuai dengan konsep keadilan restoratif yakni sebuah pendekatan yang ingin mengurangi kejahatan dengan menggelar pertemuan antara korban dan terdakwa dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum.
Kurnia mengatakan kini Mahkamah Agung juga menyalahkan PP Nomor 99 Tahun 2012 sebagai penyebab membludaknya jumlah tahanan dalam lembaga pemasyarakatan sehingga melebihi kapasitas. Padahal persoalannya adalah undang-undang tentang narkotika, yang menjadi sumber masalah kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan.
ICW, tegas Kurnia, memandang pencabutan PP No. 99 Tahun 2012 oleh Mahkamah Agung menunjukkan keberpihakan pada para koruptor karena mempermudah mereka mendapat pengurangan hukuman sehingga bisa cepat bebas dari penjara.
Meskipun demikian Kurnia mengatakan tidak akan menyalahkan pemerintah dan Dewan Perwaklan Rakyat yang menjadikan putusan Mahkamah Agung sebagai dasar untuk mempermudah remisi bagi koruptor masuk dalam aturan Undang-undang Pemasyarakatan baru yang sedang dibahas.
BACA JUGA: ICW: Pemberantasan Korupsi di Era Jokowi Masih Jauh dari MemuaskanDia berharap pemerintah dan DPR tidak akan menggunakan putusan Mahkamah Agung tersebut.
Menanggapi gagasan jaksa agung untuk menerapkan hukuman mati bagi koruptor, Kurnia melihat hukuman mati sering dijadikan jargon politik oleh beberapa pihak, misalnya Presiden Joko Widodo, Ketua KPK Firli Bahuri dan bahkan Jaksa Agung ST Burhanuddin baru-baru ini.
Kurnia menegaskan koruptor bisa dihukum mati karena aturannya ada dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tapi masalahnya hukuman mati itu tidak efektif dan melanggar hak asasi manusia.
Kurnia menjelaskan pemberian efek jera terhadap koruptor sedianya merupakan kombinasi antara pidana penjara, pengenaan denda, membayar uang pengganti dan pencabutan hak politik bagi pelaku yang mempunyai irisan dengan wilayah politik. [fw/em]