Menurut para aktivis lingkungan, kota-kota di Indonesia dapat memberi kontribusi dalam mengurangi dampak perubahan iklim di tanah air melalui pengembangan kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Koordinator Kampanye dan Advokasi dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Cut Nurhayati mengatakan di Jakarta, Jum’at (5/10) kebijakan terkait kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di sebagian kota, terutama kota-kota besar di tanah air masih cukup minim.
”Secara umum, RTH di kota-kota besar itu memang sangat kurang, karena kebanyakan kota-kota yang ada di Indonesia ini direncanakan tanpa memperhatikan aspek-aspek lingkungan,” ungkap Nurhayati.
Menurut Nurhayati, transparansi dan besaran anggaran kebijakan lingkungan yang diperuntukkan terkait pengembangan perkotaan juga belum maksimal dilakukan oleh pemerintah setempat. Masyarakat kota, sektor usaha dan bisnis sering memberikan kontribusi cukup besar dari pemasukan dari pajak dan restribusi lainnya bagi pendapatan (PAD) pemerintah kota.
“Berapa persen misalnya, alokasi anggaran di kota itu yang diperuntukan untuk perbaikan kualitas lingkungan (secara utuh) tidak pernah dipaparkan,” lanjutnya.
Tim pakar dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang bertugas langsung dibawah kendali Presiden RI mengakui belum satu kotapun di tanah air yang mampu menerapkan 30 persen ketesediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Indonesia. DNPI berkerjasama dengan pihak kementerian terkait, organisasi pakar dan universitas terkemuka di tanah air, terus mendorong upaya pemenuhan RTH di kota-kota di Indonesia.
Kepala Sekretariat DNPI, Agus Purnomo mengatakan, pihaknya atas petunjuk presiden selalu mengingatkan aparat di daerah agar konsisten dan lebih proaktif dalam mewujudkan kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
"Wajib hukumnya, bagi para Walikota, Gubernur, mungkin juga Bupati untuk mengutamakan dan memperbanyak Ruang Terbuka Hijau (RTH),” ungkap Agus Purnomo.
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum, Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang , dalam klausul UU itu disebutkan, jumlah RTH di setiap kota harus sebesar 30 persen dari luas kota tersebut. RTH di setiap kota memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi ekologis, sosial ekonomi dan evakuasi.
Salah seorang Koordinator Forum Pemuda Peduli Kota, Hendro Saki baru-baru ini mengatakan, organisasi lingkungan dan kelompok masyarakat madani bersama Walikota Banda Aceh berkomitmen kuat mewujudkan hak warga kota terkait Ruang Terbuka Hijau (RTH).
“Pemerintah Kota harus mematuhi tentang UU Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional itu yang menjelaskan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) itu harus 30 persen dari luas kota, itu harus dipatuhi 30 persen, termasuk memperbesar anggaran untuk RTH da partisipasi masyarakat,” ungkap Hendro Saki.
Para pakar mengatakan, Fungsi ekologis RTH diantaranya dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan pengatur iklim mikro. Fungsi lainnya yaitu sosial-ekonomi untuk memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi dan keasrian kota.
Badan PBB urusan Permukiman UN Habitat dalam sebuah laporannya baru-baru ini menyatakan, kota-kota di Asia, Timur Tengah hingga kota di Amerika Latin berupaya memenuhi standar minimal ruang terbuka hijau di negara masing-masing. Badan Kesehatan Dunia WHO menyatakan, standar internasional untuk ruang hijau adalah sembilan meter persegi per kapita.
Laporan-laporan terbaru menyatakan, Singapura menjadi salah satu ibukota negara yang sementara ini berada di posisi teratas dunia dalam mengembangkan ruang terbuka hijau. Luas ruang terbuka hijau saat ini mencapai lebih dari 50 persen dari luas wilayah Singapura. Singapura juga memiliki lebih dari 450 taman dan kebun publik.
Pakar iklim mengatakan, optimalisasi ruang terbuka hijau perkotaan yang cukup berarti akan menyumbang cukup besar bagi upaya menekan dampak perubahan iklim dunia.
”Secara umum, RTH di kota-kota besar itu memang sangat kurang, karena kebanyakan kota-kota yang ada di Indonesia ini direncanakan tanpa memperhatikan aspek-aspek lingkungan,” ungkap Nurhayati.
Menurut Nurhayati, transparansi dan besaran anggaran kebijakan lingkungan yang diperuntukkan terkait pengembangan perkotaan juga belum maksimal dilakukan oleh pemerintah setempat. Masyarakat kota, sektor usaha dan bisnis sering memberikan kontribusi cukup besar dari pemasukan dari pajak dan restribusi lainnya bagi pendapatan (PAD) pemerintah kota.
“Berapa persen misalnya, alokasi anggaran di kota itu yang diperuntukan untuk perbaikan kualitas lingkungan (secara utuh) tidak pernah dipaparkan,” lanjutnya.
Tim pakar dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang bertugas langsung dibawah kendali Presiden RI mengakui belum satu kotapun di tanah air yang mampu menerapkan 30 persen ketesediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Indonesia. DNPI berkerjasama dengan pihak kementerian terkait, organisasi pakar dan universitas terkemuka di tanah air, terus mendorong upaya pemenuhan RTH di kota-kota di Indonesia.
Kepala Sekretariat DNPI, Agus Purnomo mengatakan, pihaknya atas petunjuk presiden selalu mengingatkan aparat di daerah agar konsisten dan lebih proaktif dalam mewujudkan kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
"Wajib hukumnya, bagi para Walikota, Gubernur, mungkin juga Bupati untuk mengutamakan dan memperbanyak Ruang Terbuka Hijau (RTH),” ungkap Agus Purnomo.
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum, Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang , dalam klausul UU itu disebutkan, jumlah RTH di setiap kota harus sebesar 30 persen dari luas kota tersebut. RTH di setiap kota memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi ekologis, sosial ekonomi dan evakuasi.
Salah seorang Koordinator Forum Pemuda Peduli Kota, Hendro Saki baru-baru ini mengatakan, organisasi lingkungan dan kelompok masyarakat madani bersama Walikota Banda Aceh berkomitmen kuat mewujudkan hak warga kota terkait Ruang Terbuka Hijau (RTH).
“Pemerintah Kota harus mematuhi tentang UU Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional itu yang menjelaskan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) itu harus 30 persen dari luas kota, itu harus dipatuhi 30 persen, termasuk memperbesar anggaran untuk RTH da partisipasi masyarakat,” ungkap Hendro Saki.
Para pakar mengatakan, Fungsi ekologis RTH diantaranya dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan pengatur iklim mikro. Fungsi lainnya yaitu sosial-ekonomi untuk memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi dan keasrian kota.
Badan PBB urusan Permukiman UN Habitat dalam sebuah laporannya baru-baru ini menyatakan, kota-kota di Asia, Timur Tengah hingga kota di Amerika Latin berupaya memenuhi standar minimal ruang terbuka hijau di negara masing-masing. Badan Kesehatan Dunia WHO menyatakan, standar internasional untuk ruang hijau adalah sembilan meter persegi per kapita.
Laporan-laporan terbaru menyatakan, Singapura menjadi salah satu ibukota negara yang sementara ini berada di posisi teratas dunia dalam mengembangkan ruang terbuka hijau. Luas ruang terbuka hijau saat ini mencapai lebih dari 50 persen dari luas wilayah Singapura. Singapura juga memiliki lebih dari 450 taman dan kebun publik.
Pakar iklim mengatakan, optimalisasi ruang terbuka hijau perkotaan yang cukup berarti akan menyumbang cukup besar bagi upaya menekan dampak perubahan iklim dunia.