Pengadilan Hong Kong Batalkan Tunjangan Kesehatan bagi Pasangan LGBT

Seorang peserta membawa payung berwarna pelaning pada acara parade LGBT di Hong Kong (foto: ilustrasi).

Komunitas LGBT di Hong Kong telah meraih kemenangan tambahan yang lumayan dalam beberapa tahun terakhir ini, tetapi perkembangan terbaru membuat kemenangan itu tampak rapuh dan akan cepat berlalu.

Pengadilan Banding Hong Kong Jumat lalu (1/6) membatalkan putusan penting yang memberikan tunjangan kesehatan kepada suami seorang lelaki PNS, tunjangan serupa yang juga dinikmati pasangan heteroseksual.

Pemerintah pada hari Senin (4/7) juga meminta pengadilan banding akhir untuk membatalkan satu pencapaian penting hak-hak lain kaum gay yang mendapati bahwa pemerintah Hong Kong terlibat dalam “diskriminasi tidak langsung” ketika gagal mengeluarkan visa bagi pasangan seorang lesbian Inggris. QT – demikian inisial pemohon tersebut – memenangkan kasusnya di pengadilan banding tersebut pada September 2017 lalu.

Anggota-anggota komunitas LGBT di kota itu mengatakan mereka marah dan kecil hati melihat perkembangan ini.

Geoffrey Young, anggota Progressif Lawyers Group mengatakan, “Fakta bahwa putusan itu dikeluarkan oleh pengadilan banding, menurut saya akan memperkuat perasaan rendah diri dan prasangka di setiap bidang dan aspek kehidupan. Ini hanya pukulan lain dari semua prasangka dan diskriminasi yang mereka rasakan. Pada dasarnya mereka mengatakan perlu ada perlindungan penuh pada institusi perkawinan. Dari perspektif saya dan perspektif komunitas LGBT, ini berarti pengecualian penuh orang LGBT dari institusi perkawinan.’’

Dalam sebuah email, kantor otorita kota yang menangani urusan konstitusional dan Cina daratan mengatakan, "Kami telah secara aktif mengambil langkah-langkah untuk menghilangkan diskriminasi yang dialami kelompok seksual minoritas di Hong Kong, termasuk persiapan pelatihan sumber daya bagi personil di bidang khusus guna meningkatkan pemahaman dan sensitivitas mereka pada kelompok seksual minoritas. Hong Kong adalah masyarakat yang terbuka dan bebas yang menyambut baik bakat, warga profesional dan pengusaha dari seluruh penjuru dunia.”

Hong Kong adalah kota yang secara sosial konservatif, yang secara perlahan-lahan mulai mengakui hak-hak warga gay dan mengizinkan mereka menikmati hak-hak warga heteroseksual.

Badan legislatif di Hong Kong mengijinkan hubungan laki-laki homoseksual di koloni Inggris itu pada tahun 1991, atau 24 tahun setelah larangan semacam itu berakhir di Inggris.

Hukum di Hong Kong mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan monogami antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan pengadilan telah menunjukkan bahwa konstitusi di kota itu lebih berpihak pada ikatan heteroseksual.

September lalu tiga hakim banding menyatakan bahwa ‘’aturan hukum kami, yang bebas melampaui perlindungan Undang-Undang Dasar dan menjamin orang gay memiliki akses yang sama pada perkawinan, malah memilih untuk membatasi perkawinan menjadi perkawinan heteroseksual.’’

Angus Leung Chun-kwong, seorang petugas senior imigrasi, mengajukan petisi ke pengadilan pada tahun 2015 setelah pemerintah menolak tunjangan medis dan gigi untuk istrinya, Scott Paul Adams. Pasangan ini menikah di Selandia Baru pada tahun 2014.

Setelah pengadilan tinggi kota itu memutuskan pada tahun 2017 bahwa Adams berhak menerima tunjangan suami-istri, sebuah panel banding menyatakan tidak setuju dengan mengatakan ‘’Mengingat Undang-Undang Dasar Hong Kong sendiri lebih condong pada pasangan heteroseksual, dalam definisi ini maksudnya dalam hal akses perkawinan, maka seseorang tidak dapat mengatakan merupakan kesalahan atau diskriminatif untuk mengecualikan pasangan homoseksual.’’

Sejumlah aktivis, pengacara dan warga menilai setiap upaya oleh kota itu untuk menekan hak-hak warga gay tidak hanya diskriminatif, tetapi di pusat keuangan dunia merupakan bisnis yang buruk. Sebagian anggota LGBT menilai pandangan konservatif Hong Kong akan menyurutkan mereka yang berbakat untuk menetap di kota itu. Dan para hakim dalam kasus QT memang menyampaikan point yang sama.

Kasus QT ini menjadi semacam seruan bagi perusahaan yang berbisnis di Hong Kong. Lima belas bank internasional, termasuk Goldman Sachs dan Morgan Stanley, serta 16 firma hukum meminta pengadilan untuk campur tangan dalam kasus QT, guna mendukung klaim-nya. Pengadilan mendapati bahwa penolakan visa bagi QT jelas “kontra-produktif.”

Intervensi perusahaan-perusahaan itu ditolak oleh pengadilan banding akhir. [em/al]