Dalam tahun ajaran 2020-2021, kurang dari 1 juta pelajar asing mendaftar untuk kelas online maupun tatap muka di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Amerika. Itu hanya sekitar 4,6% dari total pendaftaran. Pew Research menguraikan bahwa angka itu tidak hanya menandai 15% penurunan tahunan dari tahun ajaran sebelumnya, namun juga menandai pertama kalinya pelajar internasional berkurang secara drastis sejak tahun ajaran 2014-2015.
Sejumlah negara di Asia terus mengirim siswa mereka ke AS. Selain China, India, Korea Selatan, Taiwan dan Vietnam, Indonesia menyumbang mahasiswa internasional untuk belajar di AS, antara lain melalui program beasiswa Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA).
BACA JUGA: Kisah Dua Perempuan Indonesia Timur, Raih Beasiswa, Bekerja dan Jadi Sukarelawan di ASDi tengah pandemi virus corona, pemerintah Indonesia tahun lalu mengirimkan 970 mahasiswa sarjana, penerima beasiswa IISMA, untuk belajar satu semester di 59 universitas mitra luar negeri di 28 negara, termasuk AS.
Program IISMA pertama tahun 2021 memberi Stefani Efratania kesempatan belajar di University of California Davis, biasa disebut UC Davis, dan memungkinkannya untuk pertama kali tinggal di AS. Ia merasa beruntung tinggal bersama keluarga Amerika asal Myanmar karena masih memiliki kedekatan budaya dengan Indonesia.
Dalam masa tinggalnya di AS, Agustus hingga Desember 2021, Stefani mengikuti kuliah secara online dan tatap muka dengan menerapkan prokes. Kepada VOA, mahasiswi tingkat akhir dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, itu mengungkapkan kesulitannya mendapatkan masakan Indonesia. Namun ia menemukan kemiripan salah satu masakan keluarga itu dengan masakan Indonesia.
“Ada satu makanan dari Myanmar yang mirip sekali soto. Rasanya seperti soto ayam tapi isinya beda. Jadi, ada jamurnya dan tomatnya.”
Selain makanan, Stefani bersama rekannya sesama siswa Indonesia juga menyesuaikan diri dengan cuaca yang mulai dingin pada musim gugur, dan porsi makanan yang lebih besar. Kelas Dramatic Arts menjadi favorit mahasiswi kelahiran Bali itu di UC Davis, yang lebih berfokus pada mengasah ketrampilan public speaking dalam presentasi dan kolaborasi dengan menggunakan bahasa Inggris. Kemampuan akting itu akan ia gunakan dalam pekerjaan pada masa mendatang.
Your browser doesn’t support HTML5
Mahasiswa lain, Elzi Muhammad, mengambil empat mata kuliah berkaitan dengan kepemimpinan dalam dunia kerja dan wirausaha serta manajemen bisnis internasional di Boston University.
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Indonesia itu bercita-cita membuka usaha sendiri. Ia mengungkapkan pengalaman yang paling berkesan, berinteraksi dengan mahasiswa dari berbagai negara yang mengajarkannya bagaimana bekerjasama dalam tim multikultural.
“Settingnya juga multikultural di mana kita berinteraksi satu sama lain secara mendalam dari background (latar belakang) yang berbeda, dari kultur yang berbeda. Jadi sharing satu sama lain, perspektif-perspektif yang kita miliki,” tukas Elzi.
Sementara, Theresa Bianca Swasono mengikuti program IISMA di Michigan State University. Ia tertarik untuk mempelajari sejarah agama-agama yang ada di dunia melalui Religion in World Politics. Namun, ia kecewa karena tidak diperbolehkan mengambil mata kuliah tersebut.
“Menurutku mata kuliah itu sangat in line (berhubungan) dengan kondisi di Indonesia terkait agama, salah satu yang menjadi pusat masalah atau isu. Orang-orang sering berselisih (berantem) karena agama. Agama menjadi hal yang diwajibkan sampai harus ada di KTP.”
Mahasiswi jurusan kriminologi dari Universitas Indonesia itu kemudian membaca buku dan literatur terkait di perpustakaan, dan mengikuti kelas History Women and Gender in Asia.
Ketika kembali ke tanah air, para mahasiswa penerima beasiswa IISMA tidak sepenuhnya mendapatkan sekitar 16-20 SKS sebagaimana yang diajukan pihak penyelenggara. Masing-masing kampus mereka di Indonesia menerapkan sistem konversi yang berbeda pada setiap mata kuliah yang mereka ambil di AS. Walau demikian, mereka merasa beruntung memperoleh kesempatan belajar dan berbagi pengalaman ketika mengasah ketrampilan di luar negeri.
Mereka mencatat, hubungan dosen dan mahasiswa saat belajar-mengajar, baik di dalam kelas maupun secara virtual, dinilai lebih baik daripada apa yang mereka alami di Indonesia. Menurut Stefani, itu karena dosen mendengar da n menghargai pertanyaan apa pun dan dengan sabar menjelaskan satu per satu kepada mahasiswa.
Setelah mengikuti program IISMA, keinginan Stefani untuk mengajar Bahasa Indonesia beralih menjadi pengajar Bahasa Inggris di luar negeri setelah lulus kuliah. Sedangkan Elzi mengakui kesempatan yang ia peroleh di Boston telah membuka wawasannya dan melihat dunia jauh lebih besar yang tidak didapati saat kuliah dan menjalani keseharian di Indonesia.
“Misalnya lingkungan sekitar, ternyata salju itu memang dingin sekali atau summer (musim panas) itu tidak jauh dengan panasnya Jakarta Selatan. Kalau Fall (musim gugur) itu pemandangannya bagus-bagus. Orang-orang yang kita temui very open (terbuka), mindset-nya sangat progresif,” ujar Elzi. [mg/ka]