Kembali ditundanya pengadilan mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak menyebabkan sejumlah warga Mesir bertanya-tanya apakah keadilan memang benar-benar akan ditegakkan?
KAIRO —
Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak dijadwalkan hadir lagi dalam sidang pengadilan tanggal 8 Juni, sementara kasus terhadapnya berjalan lambat. Pengadilan ulang terhadapnya atas tuduhan terlibat pembunuhan demonstran dalam pemberontakan terhadapnya telah dua kali ditunda.
Pengacara mengatakan akan mengajukan bukti-bukti baru, tetapi penundaan itu menimbulkan pertanyaan apakah kasus terhadap mantan pemimpin berusia 85 tahun itu akan tuntas.
Pengadilan menetapkan sidang pertama Mubarak hampir dua tahun lalu. Sidang dimulai Agustus 2011. Juni 2012, ia dinyatakan bersalah karena tidak bisa mencegah pembunuhan itu. Awal tahun ini, ia diberi pengadilan ulang yang kini ditunda.
Penundaan itu membuat marah banyak orang. Lawan-lawannya tetap mengajukan gugatan perdata terhadapnya, sedangkan pendukungnya berpendapat ia harus dibebaskan dalam proses banding tersebut.
Tetapi sikap pasrah semakin terlihat. Massa, yang dulu sangat ingin melihat mantan pemimpin mereka diadili, jumlahnya tampak semakin susut karena penyelesaian sepertinya semakin jauh.
Profesor Said Sadek membandingkan kasus Mubarak dengan upaya gagal melawan mendiang Presiden Chile Augusto Pinochet.
Said mengatakan, "Ada kesadaran, Mesir seharusnya mengikuti apa yang terjadi pada Pinochet di Chile: persidangan yang panjang, tidak ada solusi, tidak ada penyelesaian sampai diktator itu meninggal, mereka kemudian menutup seluruh kasus itu dan membuang semua masalah."
Masalah itu, ia yakin, adalah banyaknya orang-orang dari pemerintahan era Mubarak, yang menurut Sadek, lebih suka mengubur kejahatan yang dilakukan, bukan hanya selama revolusi, tetapi selama kekuasaannya yang panjang.
"Saya tidak mengatakan Mubarak menyiksa orang dengan tangannya sendiri. Ia membutuhkan orang. Ia membutuhkan pejabat-pejabat. Kalau kita mengarah ke sana, kita akan tahu siapa saja orang dalam lembaga keamanan Mesir," tambah Said.
Namun begitu, adanya sidang pengadilan merupakan tonggak sejarah. Dari semua negara yang pemimpinnya digulingkan dalam pergolakan di Arab, hanya Mesir yang menyaksikan mantan presidennya diadili.
Pengacara mengatakan akan mengajukan bukti-bukti baru, tetapi penundaan itu menimbulkan pertanyaan apakah kasus terhadap mantan pemimpin berusia 85 tahun itu akan tuntas.
Pengadilan menetapkan sidang pertama Mubarak hampir dua tahun lalu. Sidang dimulai Agustus 2011. Juni 2012, ia dinyatakan bersalah karena tidak bisa mencegah pembunuhan itu. Awal tahun ini, ia diberi pengadilan ulang yang kini ditunda.
Penundaan itu membuat marah banyak orang. Lawan-lawannya tetap mengajukan gugatan perdata terhadapnya, sedangkan pendukungnya berpendapat ia harus dibebaskan dalam proses banding tersebut.
Tetapi sikap pasrah semakin terlihat. Massa, yang dulu sangat ingin melihat mantan pemimpin mereka diadili, jumlahnya tampak semakin susut karena penyelesaian sepertinya semakin jauh.
Profesor Said Sadek membandingkan kasus Mubarak dengan upaya gagal melawan mendiang Presiden Chile Augusto Pinochet.
Said mengatakan, "Ada kesadaran, Mesir seharusnya mengikuti apa yang terjadi pada Pinochet di Chile: persidangan yang panjang, tidak ada solusi, tidak ada penyelesaian sampai diktator itu meninggal, mereka kemudian menutup seluruh kasus itu dan membuang semua masalah."
Masalah itu, ia yakin, adalah banyaknya orang-orang dari pemerintahan era Mubarak, yang menurut Sadek, lebih suka mengubur kejahatan yang dilakukan, bukan hanya selama revolusi, tetapi selama kekuasaannya yang panjang.
"Saya tidak mengatakan Mubarak menyiksa orang dengan tangannya sendiri. Ia membutuhkan orang. Ia membutuhkan pejabat-pejabat. Kalau kita mengarah ke sana, kita akan tahu siapa saja orang dalam lembaga keamanan Mesir," tambah Said.
Namun begitu, adanya sidang pengadilan merupakan tonggak sejarah. Dari semua negara yang pemimpinnya digulingkan dalam pergolakan di Arab, hanya Mesir yang menyaksikan mantan presidennya diadili.