Penyintas Ebola Kisahkan Pengalamannya

Jamilah Jawara, seorang penyintas Ebola, menari merayakan kesembuhannya dengan penyintas lain, di Kenema, Sierra Leone (17/10). (VOA/Nina deVries)

Para penyintas bersyukur masih hidup tapi seringkali berhadapan dengan pengasingan dari masyarakat sekitar.

Saat wabah Ebola terus menyebar, ada harapan dari mereka yang telah sembuh dari infeksi virus tersebut. Di Kenema, Sierra Leone timur, sebuah konferensi penyintas diadakan untuk pertama kalinya. Tujuannya adalah untuk memberi konseling pada para penyintas dan mencari cara meningkatkan kesadaran mengenai penyakit tersebut.

Sebanyak 36 penyintas Ebola berkumpul di sebuah gereja kecil di Kenema, menari untuk merayakan kemenangan atas penyakit mematikan yang belum memiliki vaksin itu.

Konferensi tersebut diorganisir oleh Kementerian Kesehatan dan Sanitasi.

Lembaga itu dan sejumlah LSM ingin menyemangati mereka untuk memberikan konseling pada pasien Ebola lainnya dan mengajari masyarakat mengenai Ebola dan pencegahannya.

Matthew Dalling, direktur perlindungan anak dari badan PBB untuk dana anak-anak, UNICEF, mengatakan para penyintas seringkali menghadapi stigma.

"Mereka kembali ke masyarakat dan diasingkan, diminta pergi. Satu atau dua penyintas yang saya temui mengontrak rumah di Kenema karena mereka tidak dapat kembali ke desanya. Mereka ingin kembali dan membantu masyarakat, melakukan advokasi. Kami melihat mereka sebagai pahlawan," ujar Dalling.

Perawat Fatmata Feremusu Sesay tertular penyakit saat merawat pasien yang memuntahinya. Ia menatakan karena bahan seragamnya sangat tipis, muntah itu mengenai kulitnya.

Ebola hanya menyebar lewat kontak langsung dengan cairan tubuh penderita.

Sesay bersyukur masih hidup dan ia mengatakan ingin menjadi advokat di komunitasnya karena beberapa masih tidak yakin Ebola itu benar-benar ada.

"Ada kabar burung bahwa pemerintah memberi perawat uang banyak dan bahwa kami yang membunuh orang-orang, menyuntik orang," ujar Sesay.

Kabar burung seperti ini ingin dihentikan oleh penyintas Ebola, Dauda Mohamed Fullah. Ia bekerja sebagai teknisi laboratorium di rumah sakit umum Kenema dan menghadapi penolakan dari masyarakat karena ia mengidap Ebola.

Namun Fullah mengatakan bagian terberat adalah karena sebagian besar keluarganya juga terinfeksi dan tidak bertahan hidup.

"Saya terkadang teringat mereka. Saya menghadapi mimpi buruk, bahkan tadi malam saya bermimpi bertemu ayah saya dan saya tidak sanggup menghadapinya. Saya ingin mendekatinya, tapi ia menolak saya, mengatakan 'Tidak.' Jadi saya mulai menangis dalam mimpi dan bangun dengan air mata berlinang," ujar Fullah.

Banyak penyintas menghadapi pengalaman buruk yang serupa, seperti Jamilah Jawara. Bayi kembarnya meninggal karena Ebola.

"Pada 17 Juni saya kehilangan dua anak saya, mereka ada di tangan saya. Yang pertama meninggal, yang laki-laki," ujar Jawara. Bayi perempuannya meninggal tak lama kemudian.

Kisah-kisah ini dapat mengakibatkan trauma pada penyintas.

Juru bicara Badan Kesehatan Dunia (WHO), Margaret Harris mengatakan, ide bahwa para penyintas bekerja di masyarakat dan bersama pasien adalah baik, namun mereka perlu menjamin kesiapan mereka dan tidak merasa berkewajiban.

Yang juga penting adalah mengambil langkah-langkah kewaspadaan yang penting, tambah Harris.

“Misalnya, orang-orang mengatakan bahwa para penyintas betul-betul aman dan tidak akan terinfeksi lagi, namun kita belum melakukan tes tingkat antibodi mereka. Kita tahu mereka telah sembuh, namun tidak tahu apakah mereka terlindungi 100 persen dan kita harus yakin mereka aman secara medis," ujar Harris.

Ada 634 penyintas di Sierra Leone pada 19 Oktober, menurut Kementerian Kesehatan dan Sanitasi.

Dalling dari UNICEF mengatakan akan ada 13 konferensi serupa di seluruh negeri untuk para penyintas, dan para pejabat berharap akan mengeluarkan rencana yang lebih konkret secepat mungkin.