Hari Senin siang di Surabaya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian memaparkan data pelaku peledakan bom hari Minggu lalu di tiga gereja. Satu keluarga, di mana suami, istri dan empat anaknya bersama-sama menjadi eksekutor lapangan. Meski bukan yang pertama, kata Tito, serangan di Surabaya ini adalah yang pertama yang berhasil dilakukan teroris perempuan.
“Fenomena bom bunuh diri wanita ini juga bukan yang pertama, tapi ini (pertama kali) yang berhasil,” kata Tito.
Teroris perempuan pertama di Indonesia adalah Dian Yulia Novi (28). Perempuan asal Cirebon itu bermaksud meledakkan bom panci berkekuatan tinggi di Istana Negara pada 11 Desember 2016. Polisi berhasil mengendus aksi itu dan kemudian menangkapnya bersama suami dan seorang pelaku lain. Agustus 2017 lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis 7,5 tahun penjara bagi Dian.
Hari Sabtu lalu, sehari sebelum serangan bom di Surabaya, Polisi menangkap Dita Siska Millenia (18) asal Temanggung, Jawa Tengah dan Siska Nur Azizah (22) asal Ciamis, Jawa Barat. Mereka diduga hendak melakukan serangan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jakarta, dengan menggunakan gunting.
Puji Kuswati (43), meledakkan bom di GKI Diponegoro Surabaya bersama dua anak perempuannya FS (12) dan VR (9) pada Minggu pagi. Ini, seperti kata Tito Karnavian, adalah aksi teroris perempuan pertama yang berhasil.
Tahun 2015 lalu, terbit sebuah novel berjudul "Akulah Istri Teroris." Menurut penggagas penerbitan buku ini, Ahmad Bahar dari Penerbit Solusi, ini adalah kisah nyata yang diceritakan sebagai novel. Ceritanya didasarkan pada wawancara terhadap sekitar 20 janda teroris di daerah Poso dan sekitarnya. Hanya setahun setelah itu, teroris perempuan benar-benar muncul di Jakarta meski gagal beraksi.
Ahmad Bahar tidak mau mengaitkan keduanya, tetapi menurutnya, setelah mengamati dari dekat, dia berani mengatakan bahwa para perempuan ini sebenarnya korban penipuan.
“Terorisnya tetap laki-laki, mereka hanya menggunakan orang lain, dan orang lain itu adalah para perempuan ini. Itu biasanya dilakukan dengan perkawinan terlebih dahulu dan biasanya para perempuan ini adalah perempuan yang lemah, dalam banyak hal baik ekonomi, dasar-dasar agama maupun mental,” kata Ahmad Bahar.
Membandingkan dengan para janda teroris di Poso, Ahmad Bahar meyakini bahwa kehidupan perempuan di lingkungan teroris sebetulnya penuh tekanan.
“Kita seharusnya kasihan pada mereka. Mereka tidak bisa lepas dari lingkaran itu. Mereka hanya bisa bergaul dengan sesama kelompoknya. Ini awal mula benih terorisme karena bahkan kepada yang satu agama saja mereka tidak bisa toleran,” tambah Ahmad Bahar.
Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin dari Komisi HAM Organisasi Konferensi Islam (OKI) setuju bahwa pelibatan perempuan dalam teror bom merupakan fenomena baru. Menurutnya, posisi perempuan sebagai ‘pengantin’ sesungguhnya bukan merupakan dogma dasar tentang jihad. Dogma ini lebih cenderung bagi laki-laki karena janji pahalanya adalah tujuh bidadari.
"Itu sebenarnya hanya keyakinan mereka. Jadi saya melihat keterlibatan perempuan ini lebih bersifat taktis, meski juga dibungkus dengan janji pahala dan surga," papar Ruhaini kepada VOA.
Ruhaini menambahkan, jika tidak hati-hati, fenomena ini bisa dianggap sebagai bagian dari emansipasi perempuan dalam isu kesetaraan gender. Padahal, emansipasi dan kesetaraan gender adalah bentuk agensi yang bersifat positif, mandiri, empowered dan berorientasi pro-life. Karena itu, keterlibatan perempuan tersebut justru harus dilihat sebagai korban ketaatan pada indoktrinasi laki-laki sebagai kepanjangan prinsip imamah dan qiwamah.
Akademisi yang juga aktif di PP Muhammadiyah ini mendesak adanya penguatan perempuan sebagai agensi yang mandiri dan berdaya sebagai salah satu upaya penanggulangan keterlibatan dalam teror.
"Tingkat pendidikan dan ekonomi tidak selalu menjamin perempuan dapat mengambil keputusan berdasarkan kehendak mandiri. Tradisi agama perlu mengarusutamakan kesetaraan gender dengan perspektif yang progresif dan berpihak pada penghargaan pada kehidupan," tambah Ruhaini.
Keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi terorisme ini juga mengundang keprihatinan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Rita Pranawati, Komisioner KPAI kepada VOA menyatakan kenyataan ini mencerminkan bahwa orang tua melihat anak sebagai hak milik yang bisa diperlakukan sewenang-wenang.
Your browser doesn’t support HTML5
KPAI pernah menangani kasus anak-anak yang menjadi teroris atas inisitif sendiri. Namun, dalam tragedi di Surabaya, prosesnya sangat berbeda anak-anak itu terlibat atas perintah orang tuanya sendiri.
“Sebenarnya guru di sekolah bisa melihat tanda-tandanya sejak awal, misalnya ketika ada anak-anak yang tidak mau ikut upacara bendera, tidak mau bernyanyi atau tepuk tangan, ada juga yang sampai tidak mau mengikuti pelajaran PPKN (Pancasila), terutama anak-anak yang baru pulang dari Suriah. Ini harus menjadi perhatian khusus,” kata Rita.
Terkait kasus di Surabaya dan Sidoarjo, Rita meminta polisi bertindak khusus kepada anak-anak pelaku yang masih selamat. Dalam posisinya saat ini, anak-anak itu bisa disebut sebagai korban juga, yaitu korban keadaan dan tindakan orang tua mereka.
“Kalau misalnya masih di bawah 12 tahun, proses hukumnya 'kan tindakan pemulangan. Tidak bisa diproses secara hukum. Makanya kemudian akan ada proses review proses pengasuhannya kelak seperti apa, agar dia tidak menerima stigma di masyarakat. Kalau prinsip peradilan anak adalah memulihkan ke situasi semula, agar dia tidak terbebani dengan apa yang sudah dilakukan,” kata Rita Pranawati.
KPAI akan memantau secara khusus anak-anak pelaku yang selamat, baik dalam serangan di Mapolresta Surabaya maupun di Rusun Sidoarjo. Usia anak akan menjadi faktor penentu tindakan hukum yang diambil kemudian. Tetapi yang pasti, kata Rita, jangan sampai tercipta kondisi yang menimbulkan kebencian anak itu pada diri sendiri karena menerima stigma dari masyarakat. Kondisi itu, tambahnya, mendorongnya sang anak berpotensi melakukan teror yang sama di masa depan. [ns/em]