Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengatakan selama 2020-2021 lembaganya menerima sepuluh pengaduan kasus, terdiri dari kasus tambang (dua kasus), hutan adat (dua kasus), serta masing-masing satu kasus polusi suara/kebisingan dan hak atas air. Sepanjang 2003-2019, Komnas Perempuan menerima pengaduan 49 kasus yang semuanya tidak terselesaikan dengan baik.
Di samping itu, lanjutnya, jika pada 2020 terjadi 241 konflik agraria di 30 provinsi, maka pada tahun 2021 terjadi 207 konflik agraria di 32 provinsi. Kasus yang terjadi tahun lalu mencakup 74 kasus konflik perkebunan, 30 konflik tambang, 20 konflik properti dan 17 konflik kehutanan.
Konflik-konflik sumber daya alam tersebut memiliki dampak terhadap kaum perempuan. Dalam konteks budaya dan spiritual, perempuan kehilangan perannya sebagai pengelola pengetahuan lokal berbasis sumber daya alam setempat. Perempuan tidak bisa lagi membuat obat-obatan herbal, ritual dan nilai-nilai pertanian masyarakat adat serta kerajinan tangan.
BACA JUGA: Cegah Kekerasan, Pencegahan dan Pengawasan di Lingkungan Sekolah Harus Ditingkatkan
Dampak ekonomi bagi perempuan adalah pemiskinan karena mereka tidak dapat membuat kerajinan tangan atau komoditas lainnya dari sumber daya alam setempat yang memiliki nilai jual. Kemudian dampak hak-hak dasar berupa kehilangan air bersih, lingkungan hidup yang sehat, dan hilangnya ketahanan pangan karena kerusakan lingkungan hidup.
"(Dampak berupa) ancaman kekerasan: rentan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), perdagangan orang, kekerasan seksual terhadap anak, eksploitasi terhadap perempuan dan anak di perkebunan, menjadi buruh di tanah orang. Lalu lenyapnya relasi sosial yang aman dan damai. Situasi menjadi mencekam, apalagi aparat kerap melakukan intimidasi dan kekerasan. Kohesi sosial retak akibat pro kontra, keluarga tercerai berai karena mengungsi," kata Rainy.
KSPPM : Pengembangan Industri Tak Jamin Kesejahteraan Warga, Terutama Perempuan
Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi menuding keberadaan beragam industri di kawasan Danau Toba bukan menyejahterakan masyarakat setempat malah menciptakan keterbelakangan, perampasan tanah dan pemiskinan. Pembangunan di kawasan Danau Toba menjadi ancaman terbesar terhadap hak-hak masyarakat setempat, terutama perempuan.
Menurutnya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender serta pemajuan dan pemenuhan hak-hak asasi perempuan harus mengatasi pemiskinan struktural yang dialami oleh perempuan.
"Kami melihat bahwa pemiskinan struktural itu disebabkan oleh konflik agraria dan konflik sumber daya alam yang tidak terselesaikan hingga saat ini. Salah satu yang menyebabkan ketimpangan ekonomi perempuan pedesaan itu adalah pemiskinan struktural akibat konflik-konflik sumber daya alam," kata Delima.
Delima menjelaskan dampak dari konflik sumber daya alam yang berkepanjangan terhadap kaum hawa adalah hilangnya ruang hidup yang tenang dan relasi sosial yang harmonis, kehilangan sumber nafkah, perempuan kehilangan pekerjaan, perempuan menjadi buruh di tanah sendiri serta perbudakan atas perempuan dan anak.
Dia menambahkan masih banyak desa di sekitar Danau Toba memiliki infrastruktur yang buruk, terisolir, dan belum dialiri listrik. Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dia menyebutkan angka kemiskinan di kawasan Danau Toba 8-15 persen meski banyak industri di sana.
Delima menegaskan kemiskinan bukan karena kawasan Danau Toba belum tersentuh pembangunan, tapi pembangunan yang ada justeru menciptakan konflik sosial, konflik sumber daya alam, dan kerusakan lingkungan yang tidak terselesaikan sampai sekarang. Banyaknya konflik sumber daya alam di kawasan Danau Toba tambahnya karena ada politik teritorialisasi hutan, di mana 60 persen hutan di Danau Toba adalah milik negara sehingga memicu konflik dengan masyarakat adat setempat.
Untuk mencegah konflik, Delima menyerukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup untuk membuat penetapan batas yang jelas antara hutan negara dengan tanah adat di kawasan Danau Toba. Juga dalam proses penetapan batas tersebut harus melibatkan masyarakat adat setempat.
Perempuan Kelompok Rentan Kerap Diperlakukan Tidak Adil
Dalam diskusi tersebut, Enik Ekowati dari Direktorat PKTHA (Pengaduan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan berdasarkan survei BPS pada 2014, jumlah penduduk tinggal di sekitar kawasan hutan sekitar 32,45 juta. Sedangkan jumlah desa berada di dalam hutan 2.037 dari total 74.754 desa di Indonesia. Desa berada di sekitar hutan sebanyak 19.247.
Your browser doesn’t support HTML5
Penduduk di sekitar kawasan hutan yang bergantung pada hasil hutan sebesar 63,95 persen dan kegiatan utama paling banyak dilakukan adalah budidaya tanaman kehutanan sebesar 25,81 persen. Jumlah penduduk miskin tinggal di sekitar hutan pada 2017 sebanyak 10,2 juta atau 36,7 persen dari total penduduk miskin di Indonesia.
Enik mengakui perempuan petani, perempuan adat, dan perempuan lokal serta kelompok rentan lainnya belum berperan aktif dan substantif menyuarakan kebutuhan mereka dalam perumusan kebijakan, program dan upaya lainnya dalam mewujudkan kedaulatan pangan, kedaulatan energi, pengelolaan kelautan dan perikanan, pendgelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di tingkat akar rumput, desa, kabupaten, provinsi, dan nasional.
Sebanyak 26,62 persen perempuan berumur 15 tahun ke atas bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Menurutnya, Kementerian Lngkungan Hidup dan Kehutanan memiliki program perhutanan sosial untuk menghilangkan ketidakadilan dalam pengelolaan hutan.
"Terkait dengan kebijakan sumber daya alam, khususnya kebijakan perhutanan sosial (PS), telah responsif gender dan kita juga melaksanakan prasyarat pengarusutamaan gender. Ditjen PSKL (Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan) terus konsisten meningkatkan kuantitas dan kualitas pengarusutamaan gender (PUG)," tutur Enik.
Enik menekankan dalam program perhutanan sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak membeda-bedakan peluang antara lelaki dan perempuan untuk berpartisipasi. [fw/em]