Peringatan 100 hari tragedi bom di tiga gereja di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel, Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan di Jalan Arjuno, Jumat (25/8), diisi dengan berbagai tampilan seni dan budaya, serta refleksi iman dan kebangsaan, dalam tajuk "Solidaritas Melodi Tanpa Batas."
Ketua Panitia, Cahaya Purnama Putra mengatakan, melalui tampilan seni dan budaya ini ingin menunjukkan bahwa persaudaraan dan kesatuan bangsa dapat disatukan oleh kebudayaan.
“Banyak yang kami tampilkan, ya paduan suara, kebudayaan tari-tarian, tari Bali tadi sudah tampil juga, terus ada tari kontemporer dari gereja yang lain juga. Ya banyak elemen yang bersedia bergabung di acara malamini, ya itu yang kami tampilka, karena sesuai dengan tajuk acara kami ‘Melodi Solidaritas Tanpa Batas’. Jadi kami ingin menyampaikan bahwa kebudayaan itu suatu kunci, dimana kita bisa menyatukan kembali ego-ego kita yang sudah terpecah akibat masifnya informasi-informasi yang radikalisme seperti sekarang ini,” jelasnya.
Penanganan para korban dan penyintas bom gereja di Surabaya, dirasakan sebagai momentum memperkuat semangat gotong royong di antara masyarakat. Koordinator Gusdurian Surabaya, Yuska Harimurti mengungkapkan, peristiwa bom di Surabaya pada 13 Mei 2018 lalu, telah melahirkan semangat solidaritas dan persaudaraan yang tinggi dari berbagai elemen masyarakat, tanpa memandang perbedaan yang ada selama ini.
“Semangat gotong royong itu, itu kan selalu menunjukkan keterlibatan, baik senang atau susah. Persitiwa bom Surabaya, itu dari segi positifnya kita melihat bahwa seluruh warga Surabaya, mulai dari unsur Bonek, unsur agama, unsur masyarakat, semuanya mengutuk keras, semuanya melakukan solidaritas kepada para korban dan juga kepada gereja. Ini adalah sebuah potret positif yang sebenarnya bisa kita lihat di Surabaya, dan makanya, momen ini kita buat sebagai pengingat kepada kota-kota lain, bahwa kekerasan terorisme itu bisa terjadi di mana saja,” kata Yuska.
Sementara Anita Wahid, dari Seknas Jaringan Gusdurian mengatakan, meski berawal dari sebuah tragedi kemanusiaan, peristiwa teror bom harus menjadi titik tolak untuk bangkit dan memperkuat persaudaraan sejati antar anak bangsa.
“Pertemuan hari ini memang berangkatnya dari sebuah tragedi yang memang sudah menyayat kita sebagai satu bangsa, tetapi walaupun itu adalah tragedi bukan berarti kita tidak bisa mempergunakannya untuk bangkit. Dan hari ini kita memutuskan untuk bangkit dan menjadikannya sebagai hari Persaudaraan Sejati, artinya itu mengingatkan kita lagi bahwa sebenarnya peristiwa yang kemarin terjadi itu adalah karena kita kehilangan makna diri kita sebagai saudara, kita lupa bahwa mereka yang berbeda itu juga sama loh sama kita, sama-sama satu saudara,” kata Anita Wahid.
Pastor Kepala Paroki Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Ngagel, Surabaya, Romo Alexius Kurdo Irianto mengatakan, melalui tragedi bom gereja di Surabaya, umat Katolik serta umat beragama lainnya diajak untuk berani keluar dari diri sendiri, sehingga mampu merangkul manusia lain sebagai saudara yang terlukai oleh perilaku kekerasan.
“Yang ditekankan ya berani keluar dari diri sendiri untuk menjumpai saudara-saudara yang lain dengan persaudaraan sejati itu, dengan tiga nilai itu, equality, solidarity dan unity. Bahwa kita semua adalah citra Allah, karena ini adalah peristiwa kemanusiaan yang dilukai, bukan agama, karena dengan kekerasan kan kemanusiaan yang dilukai, maka ini bukan persoalan agama, ini persoalan kekerasan, dan kekerasan adalah dehumanisasi,” kata Romo Alexius Kurdo Irianto.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Surabaya, I Wayan Suraba mengatakan, perjumpaan dengan berbagai masyarakat dari berbagai etnis dan agama adalah hal baik yang harus terus dipelihara, untuk mempererat silaturahmi dan persaudaraan antar anak bangsa.
“Mengumpul begini kan sebuah pemikiran, sebuah karya yang sangat positif. Karya yang positif kita bisa bersilaturahmi dengan sesama, dari etnis dan agama dan lain sebagainya, ini sebuah aura positif hasil dari pada sebuah evaluasi. Ketika kita berkumpul ini, secara otomatis kan, tali persaudaraan, tapi ikatan antar etnis dan beragama itu tambah erat, saling menghargai, sehingga tragedi itu atas doa kita, atas karya kita, semoga tidak akan terjadi lagi,” katanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Anita Wahid, yang merupakan putri ketiga dari Presiden Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, mengajak semua masyarakat saling membantu dalam mengatasi berbagai persolan yang dihadapi bangsa, sebagai sesama saudara sebangsa dan setanah air.
“Ketika kita memutuskan untuk bangkit, ketika kita memutuskan untuk bangun dari tempat itu, dari peristiwa tersebut, kita tidak perlu menunggu siapa-siapa untuk saling membantu. Kalau misalkan memang korban-korban ini membutuhkan bantuan, ayo kita bantu bareng-bareng. Toh, ketika ini dipikul oleh bareng-bareng orang, tidak akan berat,” imbuh Anita. [pr/em]