Dr. Kathleen Gillogly, antropolog AS di Universitas Wisconsin, mengamati fenomena hilangnya lahan-lahan pertanian tradisional karena diambil alih oleh bisnis pertanian besar di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
WASHINGTON DC —
Banyak petani di daerah-daerah pedesaan di negara-negara Asia Tenggara bergantung pada penjualan produk pertanian yang mereka hasilkan untuk menafkahi keluarga. Tetapi, lahan-lahan pertanian tradisional ini kini banyak diambil alih oleh bisnis-bisnis pertanian yang besar; sebagai contoh, perkebunan kelapa sawit di Indonesia, Malaysia dan Thailand.
Dr. Kathleen Gillogly, antropolog Amerika di Universitas Wisconsin di Kenosha, Wisconsin, memaparkan fenomena petani dan pertanian di Asia Tenggara.
Di banyak wilayah Asia Tenggara yang miskin, lahan yang tandus, terbatasnya suplai bibit dan berbagai faktor lain, menjadi kendala bagi pertanian yang sukses. Sebagai konsekuensinya, menjadi sebab kemiskinan di negara-negara sedang berkembang.
Kemajuan teknologi pertanian dapat memperbaiki kondisi lahan, mempermudah proses cocok-tanam dan mendongkrak hasil panen, tetapi, ternyata, teknologi tidak selalu membawa keberuntungan langsung bagi para petani, seperti dikemukakan antropolog Kathleen Gillogly.
“Perkembangan pertanian dapat meningkatkan hasil, tetapi kadang-kadang mengorbankan apa yang disebut keseimbangan hidup. Para petani miskin kebanyakan hanya berusaha menafkahi keluarga mereka dan menabung sedikit. Mereka tidak mampu menggunakan teknologi baru, dan orang-orang inilah yang biasanya kehilangan lahan, kemudian pindah ke kota dan menjadi buruh,” papar Kathleen.
Di sebagian wilayah, problem infrastruktur jalanan merintangi kemampuan petani untuk menjual panen mereka, padahal transportasi adalah komponen kunci bagi pengembangan pertanian. Sehingga, meski hasil panen berlimpah, petani tak dapat menjual hasil panen dan memetik keuntungan. Namun, ternyata, ada lagi masalah lain, ungkap Kathleen Gillogly.
“Apa yang lazim terjadi di kawasan Asia Tenggara, sementara meluasnya komersialisasi pertanian, adalah seringnya tindakan pengambil-alihan tanah, sehingga banyak orang kehilangan tanah mereka karena diambil bisnis-bisnis pertanian. Ini menimbulkan masalah,” ujarnya.
Ditanyakan, apakah para pekerja relawan dari organisasi-organisasi lokal maupun internasional, seperti CARE International, Oxfam International, dan Peace Corps, dapat membantu meningkatkan mutu kehidupan para petani miskin di negara-negara sedang berkembang ini?
Dr. Gillogly yang pernah mengabdi di Thailand selama tiga tahun ini, mengisahkan pengalamannya.
"Apa yang diinginkan warga setempat adalah merasakan bahwa para pendatang atau peneliti menjadi anggota masyarakat. Jadi, kalau saya dapat memberi pertolongan kepada anak-anak mereka, seperti mengantar dan menjemput anak-anak itu dari sekolah di kota, saya lakukan. Kebanyakan, anak-anak itu belajar membaca dan menulis bahasa Thailand, dan karena saya bisa berbahasa Thailand, saya dapat banyak menolong mereka.”
Lebih jauh, Gillogly bercerita tentang bagaimana dia hidup di tengah-tengah masyarakat etnis Lisu di Thailand utara: “Jika mereka pergi menuai padi, saya menolong mereka menuai, dan kami bercakap-cakap. Jika ada upacara, saya turut serta, seperti pergi ke pesta kawin, membantu apa yang mereka minta saya lakukan, pergi ke rapat kampung, dan sebagainya. Pokoknya, berusaha menempatkan diri, ngobrol dengan warga setempat, sambil melakukan berbagai hal. Saya juga berusaha membantu memberi informasi yang mereka butuhkan; apa saja yang mereka perlukan dan yang dapat saya lakukan."
Antropolog Kathleen Gillogly yang fokus penelitiannya adalah perkembangan pertanian di Asia Tenggara, khususnya di Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam ini, pernah pula mengabdi selama empat tahun di Kepulauan Solomon, Samudera Pasifik, sebagai relawan Peace Corps. Katanya, dewasa ini, dunia seakan sebuah desa global, pengertian antar bangsa dan budaya mesti dijalin dan digalakkan lebih erat. Kebudayaan sesuatu bangsa mungkin terlihat aneh bagi bangsa lain, terutama saat pertama kali bersentuhan, tetapi, tandas Gillogly, bila kita saling mendengarkan, kita akan dapat saling memahami.
Dua tahun lalu, Gillogly, bersama koleganya Dr. Kathleen M. Adams, antropolog dari Universitas Loyola, Chicago, menyunting sebuah antologi esei yang menjadi “bestseller” berjudul: “Everyday Life in Southeast Asia,” diterbitkan oleh Indiana University Press. Buku ini menjadi acuan bermanfaat, baik bagi kalangan akademisi maupun pembaca umum di Asia Tenggara, dan juga terbit dalam versi elektronik atau ‘ebook.’ Selain itu, dapat pula dipinjam melalui program Project Muse, bagi mahasiswa dan dosen, yang perguruan tinggi mereka memiliki akses kepada Project Muse.
Dr. Kathleen Gillogly, antropolog Amerika di Universitas Wisconsin di Kenosha, Wisconsin, memaparkan fenomena petani dan pertanian di Asia Tenggara.
Di banyak wilayah Asia Tenggara yang miskin, lahan yang tandus, terbatasnya suplai bibit dan berbagai faktor lain, menjadi kendala bagi pertanian yang sukses. Sebagai konsekuensinya, menjadi sebab kemiskinan di negara-negara sedang berkembang.
Kemajuan teknologi pertanian dapat memperbaiki kondisi lahan, mempermudah proses cocok-tanam dan mendongkrak hasil panen, tetapi, ternyata, teknologi tidak selalu membawa keberuntungan langsung bagi para petani, seperti dikemukakan antropolog Kathleen Gillogly.
“Perkembangan pertanian dapat meningkatkan hasil, tetapi kadang-kadang mengorbankan apa yang disebut keseimbangan hidup. Para petani miskin kebanyakan hanya berusaha menafkahi keluarga mereka dan menabung sedikit. Mereka tidak mampu menggunakan teknologi baru, dan orang-orang inilah yang biasanya kehilangan lahan, kemudian pindah ke kota dan menjadi buruh,” papar Kathleen.
Di sebagian wilayah, problem infrastruktur jalanan merintangi kemampuan petani untuk menjual panen mereka, padahal transportasi adalah komponen kunci bagi pengembangan pertanian. Sehingga, meski hasil panen berlimpah, petani tak dapat menjual hasil panen dan memetik keuntungan. Namun, ternyata, ada lagi masalah lain, ungkap Kathleen Gillogly.
“Apa yang lazim terjadi di kawasan Asia Tenggara, sementara meluasnya komersialisasi pertanian, adalah seringnya tindakan pengambil-alihan tanah, sehingga banyak orang kehilangan tanah mereka karena diambil bisnis-bisnis pertanian. Ini menimbulkan masalah,” ujarnya.
Dr. Gillogly yang pernah mengabdi di Thailand selama tiga tahun ini, mengisahkan pengalamannya.
"Apa yang diinginkan warga setempat adalah merasakan bahwa para pendatang atau peneliti menjadi anggota masyarakat. Jadi, kalau saya dapat memberi pertolongan kepada anak-anak mereka, seperti mengantar dan menjemput anak-anak itu dari sekolah di kota, saya lakukan. Kebanyakan, anak-anak itu belajar membaca dan menulis bahasa Thailand, dan karena saya bisa berbahasa Thailand, saya dapat banyak menolong mereka.”
Lebih jauh, Gillogly bercerita tentang bagaimana dia hidup di tengah-tengah masyarakat etnis Lisu di Thailand utara: “Jika mereka pergi menuai padi, saya menolong mereka menuai, dan kami bercakap-cakap. Jika ada upacara, saya turut serta, seperti pergi ke pesta kawin, membantu apa yang mereka minta saya lakukan, pergi ke rapat kampung, dan sebagainya. Pokoknya, berusaha menempatkan diri, ngobrol dengan warga setempat, sambil melakukan berbagai hal. Saya juga berusaha membantu memberi informasi yang mereka butuhkan; apa saja yang mereka perlukan dan yang dapat saya lakukan."
Antropolog Kathleen Gillogly yang fokus penelitiannya adalah perkembangan pertanian di Asia Tenggara, khususnya di Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam ini, pernah pula mengabdi selama empat tahun di Kepulauan Solomon, Samudera Pasifik, sebagai relawan Peace Corps. Katanya, dewasa ini, dunia seakan sebuah desa global, pengertian antar bangsa dan budaya mesti dijalin dan digalakkan lebih erat. Kebudayaan sesuatu bangsa mungkin terlihat aneh bagi bangsa lain, terutama saat pertama kali bersentuhan, tetapi, tandas Gillogly, bila kita saling mendengarkan, kita akan dapat saling memahami.
Dua tahun lalu, Gillogly, bersama koleganya Dr. Kathleen M. Adams, antropolog dari Universitas Loyola, Chicago, menyunting sebuah antologi esei yang menjadi “bestseller” berjudul: “Everyday Life in Southeast Asia,” diterbitkan oleh Indiana University Press. Buku ini menjadi acuan bermanfaat, baik bagi kalangan akademisi maupun pembaca umum di Asia Tenggara, dan juga terbit dalam versi elektronik atau ‘ebook.’ Selain itu, dapat pula dipinjam melalui program Project Muse, bagi mahasiswa dan dosen, yang perguruan tinggi mereka memiliki akses kepada Project Muse.