Tidak mudah bagi YS Albukhori untuk menjalankan rutinitas keagamaannya sebagai umat Islam. Ketika ingin mengikuti salat jamaah di masjid, kehadirannya sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi jamaah lain, terutama anak-anak. Sementara ketika mengikuti pengajian atau acara keagamaan lain, mereka juga memendam pertanyaan, apakah kehadirannya itu membuat nyaman yang lain. Semua karena satu sebab, YS Albukhori adalah seorang waria.
“Hal yang pastinya, bagaimana ketika teman-teman itu bisa belajar, bisa beribadah dengan nyaman. Tidak setiap teman-teman itu ketika dia belajar agama di masjid yang umum, pertama di internalnya sudah terbangun ketidaknyamanan terlebih dahulu. Kemudian sebaliknya, nyamankah ustadznya, juga jamaah yang lain,” kata YS Albukhori yang lebih senang dipanggil Yuni Shara.
Yuni mengaku membutuhkan lingkungan tersendiri yang dia sebut sebagai sebuah ruang nyaman dalam beribadah. Karena itulah, dia kemudian aktif di Pesantren Waria Al-Fatah di Kotagede, Yogyakarta. Di sinilah, pra waria menemukan tempat di mana mereka diterima sepenuhnya ketika bertemu dengan Tuhan. Mereka bisa memilih untuk beribadah sesuai kecenderungan yang diyakini, apakah memakai sarung atau mukena.
Dunia memang belum ramah bagi waria seperti Yuni Shara, bahkan dalam soal-soal terkait ibadah. Padahal, seperti juga umat beragama pada umumnya, Yuni ingin belajar memperdalam pemahaman mengenai agama yang dianutnya. Berada dalam pengajian umum, dan beribadah di tengah jamaah yang belum memahami waria seutuhnya, tidak pernah menjadi ibadah yang mudah.
“Memang yang banyak belajar dari teman-teman waria. Kenapa? Karena jujur kami itu masih sangat butuh belajar agama. Lebih dekat lagi dengan Tuhan kita, dengan identitas diri yang ada,” tambah Yuni yang sejak 2010 menjadi sekretaris di pondok ini.
BACA JUGA: Waria Yogya: Membangun Relasi Setara Melalui Gelar BudayaKisah itu dipaparkan Yuni dalam diskusi daring yang diselenggarakan Mitra Wacana WRC Yogyakarta, Rabu (16/9) petang. Diskusi kali ini membahas buku "Santri Waria" yang ditulis Masthuriyah Sa’dan. Buku ini menjadi semacam jendela untuk melihat ke dalam kehidupan para waria dan petualangan batinnya, selama menjadi santri di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, Yogyakarta.
Di pondok pesantren inilah, Yuni menemukan tempat yang tepat untuk belajar agama. Dia juga semakin mantap dengan keadaannya saat ini, karena yakin bahwa manusia akan dinilai menurut amal baik dan buruk selama hidup, tanpa melihat jenis kelaminnya. Sebagai santri pula, Yuni mengupas apa itu dosa dan hak prerogatif Tuhan akan ciptaan-Nya.
Sempat Dibubarkan Massa
Pondok Pesantren Waria Al-Fatah menemukan banyak persoalan selama dirintis hingga saat ini. Dalam ingatan Shinta Ratri, ketua pondok pesantren ini, periode paling berat dalam perjuangan mereka belajar agama adalah pada tahun 2016. Ketika itu, sekelompok orang dari organisasi tertentu menggelar aksi penolakan kehadiran pondok. Para waria diminta untuk pindah, dengan berbagai alasan seperti bahwa agama tidak mengenal waria dan masyarakat sekitar pondok yang resah.
Massa juga menolak pemakaian kata santri bagi waria yang belajar agama di sana.
“Kenapa kita memakai santri, karena memang kita belajar agama. Karena ada beberapa juga yang mondok di sana, yang mondok di tempat ini. Jadi kemudian, label dosa disematkan kepada waria, itu lalu seolah-olah kata santri ini menjadi haram untuk kita pakai,” ujar Shinta.
Your browser doesn’t support HTML5
Karena itulah, Shinta menolak tuntutan untuk menghapus istilah pesantren dan santri di lingkungan Al-Fatah. Dia bahkan meyakini, istilah itu muncul jauh sebelum Islam hadir di Indonesia.
Kata santri sendiri jika dirunut, menurut sejumlah pakar, bisa berasal dari kata sastri dalam bahasa Sanskerta yang bermakna bisa membaca atau melek huruf. Dalam kebudayaan Jawa, dikenal pula istlah cantrik, yang kurang lebih bermakna seorang murid yang mengikuti gurunya.
“Kita belajar agama di sana. Kita belajar membaca Al Quran, kita beribadah bersama, kita berdiskusi tentang penerimaan Islam terhadap waria,” tambah Shinta.
Pondok ini sempat kosong ditinggalkan para santrinya selama beberapa bulan. Tidak hanya pergi, para waria yang belajar agama di sana juga mengalami trauma. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengembalikan rasa percaya diri mereka, dan menjalankan kembali kegiatan keagamaan di Al-Fatah hingga saat ini.
Perjuangan 12 Tahun
Sebagai pondok pesantren, secara resmi tahun ini Al-Fatah berusia 12 tahun. Sebuah acara kecil digelar pada 13 September lalu di pesantren ini, untuk menandai penambahan usia sekaligus peluncuran buku "Santri Waria".
Ada sekitar 40 santri yang belajar agama di sana saat ini. Sejumlah ustadz secara sukarela mendampingi mereka. Waria menemukan ruang nyaman di pondok ini untuk beribadah. Dalam memilih sarana pakaian ibadah misalnya, hanya delapan orang yang memutuskan memakai mukena ketika salat, sisanya memilih sarung.
"Santri Waria" juga dipilih menjadi judul buku ini, karena hanya waria yang belajar agama di sana. Shinta menerangkan, dulu pernah ada enam priawan yang bergabung dengan mereka. Berkebalikan dengan waria, priawan adalah istilah untuk mereka yang secara biologis perempuan, tetapi memilih tampil sebagai pria. Namun dalam sejumlah kesempatan,mereka lebih menutup diri dibanding para waria. Karena itulah, satu persatu akhirnya memutuskan pergi dan santri yang tersisa seluruhnya hanya waria.
Masthuriyah Sa’dan, penulis buku ini adalah peneliti yang tumbuh di lingkungan pesantren. Dia mengatakan, setiap kali membuat tulisan di media sosial mengenai pondok pesantren waria, selalu saja muncul komentar negatif dari sejumlah kalangan.
Komentar paling umum yang disampaikan adalah permintaan agar Masthuriyah mengajak mereka bertobat. Dalam kacamata umum, bertobat bagi waria adalah kembali menjadi laki-laki sejati. Pemahaman masyarakat semacam itulah yang terus mengganggu, sehingga Masthuriyah merasa perlu menulis buku ini.
BACA JUGA: Hendrika Mayora, Transpuan Pertama Jadi Pejabat Publik di IndonesiaPerempuan asal Madura ini sudah lima tahun ikut mendampingi santri waria di PP Al-Fatah Yogyakarta. Buku ini menjadi semacam catatan sekaligus refleksi atas pandanganya mengenai pengalaman beragama para waria. Dia mengumpulkan berbagai pandangan, baik yang pro maupun kontra terhadap keberadaan pesantren tersebut.
“Dari sekian banyak hasil wawancara, yang saya temui dari kawan-kawan itu adalah rasa kebencian terhadap minoritas gender. Kalau melihat rasa benci kepada kelompok minoritas gender, itu kan berkaitan dengan perikemanusiaan yang dangkal. Kita jangan mengaku sebagai pembela Tuhan kalau kita sendiri tidak menghargai ciptaan Tuhan,” ujarnya. [ns/ab]