Majelis Kehormatan Partai Gerindra menerima surat pengunduran diri Muhammmad Sanusi sesaat sebelum menggelar sidang kasus pelanggaran etik yang dilakukan anggotanya itu.
Anggota Majelis Kehormatan Partai Gerindra, Permadi dalam jumpa pers di Kantor Partai Gerindra hari Senin (4/4) mengatakan, dengan adanya surat pengunduran diri tersebut maka majelis kehormatan partai tidak perlu membahas pelanggaran etik yang dilakukan anggota partainya itu, karena yang berhak membahas surat pengunduran diri tersebut hanya Dewan Pimpinan Pusat (DPP).
Majelis Kehormatan Dewan Partai Gerindra sedianya melangsungkan sidang hari Senin untuk menentukan nasib Sanusi.
Your browser doesn’t support HTML5
"Isinya... Sejak dibuatnya surat ini saya Muhammad Sanusi menyatakan mengundurkan diri dari Partai Gerindra termasuk dari DPRD dan partai. Tidak menyebutkan alasan," urai Permadi.
Kasus suap menjerat Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi Kamis malam (31/3) pekan lalu, ketika menerima suap dari PT Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan PT Agung Podomoro, salah satu pemegang izin reklamasi. Dalam “operasi tangkap tangan” itu KPK mengamankan barang bukti uang bernilai, 1,14 milliar rupiah.
Penangkapan Sanusi tersebut terkait dengan pembahasan dua rancangan peraturan daerah (Raperda) mengenai reklamasi, yang mencakup raperda rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi Jakarta dan raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai di Jakarta utara.
Dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, dewan dan pengembang mengusulkan agar besaran kontribusi diatur dengan penetapan batas bawah sebesar 5 persen.
Pemerintah DKI Jakarta tidak menyetujui besaran itu dan bersikukuh agar kontribusi tambahan dihitung 15 persen dikali nilai jual obyek pajak, dikali luas tanah yang dijual, sehingga para pengembang proyek reklamasi nantinya bakal menyumbang pembangunan proyek fisik sekitar 48,8 trilliun rupiah.
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok menyatakan siap jika dipanggil KPK untuk menjelaskan soal reklamasi ini.
"Siap dong, kita harus hargain, kita harus kasih keterangan kenapa bisa seperti ini. KPK kan pasti tanya sama kita, kita akan kirim data semua prosesnya seperti apa. KPK minta data apa, kita kirim," kata Ahok.
Sanusi bukanlah satu-satunya anggota DPRD yang terlibat kasus korupsi. KPK mengatakan sejak tahun 2010 sampai Maret 2016, ada 42 anggota DPRD di seluruh Indonesia yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Ester mengatakan masalah legislasi merupakan salah satu sarana terbanyak yang dilakukan DPRD untuk korupsi. Menurutnya, korupsi legislasi dilakukan dengan beberapa cara seperti mengubah pasal, mengganti ketentuan dan lainnya.
Lalola menyayangkan tidak adanya sanksi yang tegas terhadap anggota dewan yang tidak melaporkan harta kekayaannya, seperti yang dilakukan Sanusi. Laki-laki berusia 39 tahun ini telah dua periode menjadi anggota DPRD Jakarta tetapi tidak pernah melaporkan harta kekayaannya kepada KPK.
Laola mengatakan bahwa sanksi yang ringan menyebabkan tindak pidana korupsi terus terjadi.
"Ada mekanisme yang dapat ditempuh jika berbicara soal penjeraan yaitu pemiskinan. Sebenarnya kita sudah memiliki aturan yang mendukung soal itu seperti Undang-undang tindak pidana pencucian uang( TPPU). Kita berharap bukan cuma KPK untuk menerapkan UU Tipikor dan UU TTPU karena patut diduga setiap tindak pidana korupsi pasti diikuti oleh tindak pidana pencucian uang. Kalau cuma pidana badan, kalau terpidana keluar dari lapas,mereka masih punya kekayaan untuk tumpuan hidup," paparnya. [fw/em]