Presiden Joko Widodo mendapat suntikan vaksin virus corona pada bulan lalu, yang disiarkan secara langsung oleh sejumlah televisi nasional. Namun terlepas dari riuh-rendah terkait vaksin tersebut, Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa program tersebut sudah menghadapi sejumlah kendala, mulai dari masalah lemari pendingin untuk menyimpan vaksin, ketidakpercayaan, hingga disinformasi.
Sementara itu, infeksi dan tingkat kematian meningkat lebih cepat dari sebelumnya. Bahkan jika program vaksinasi berjalan lancar, para ahli kesehatan memperkirakan akan masih diperlukan waktu berbulan-bulan hingga sampai di tingkat di mana masyarakat umum dapat diinokulasi.
“Bencana,” kata Pandu Riono, ahli epidemiologi Universitas Indonesia ketika ditanya apa yang dia harapkan dalam beberapa bulan mendatang.
"Sistem Kesehatan sudah ambruk. Sudah ada banyak cerita tentang orang yang meninggal pada saat tiba (di rumah sakit), di unit gawat darurat, dan dalam perjalanan karena mereka mencari rumah sakit. Bahkan kuburan pun sudah kehabisan lahan."
Seorang sumber Reuters menuturkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan kepada pejabat kementerian kesehatan mengenai keprihatinannya tentang peluncuran vaksinasi tak lama usai setelah pengangkatannya pada akhir Desember. Namun Kementerian Kesehatan menolak mengomentari laporan tersebut.
Ditanya tentang klaim pandemi menyebar lebih cepat daripada kecepatan pemberian vaksin, juru bicara satuan tugas COVID-19, Wiku Adisasmito, mengatakan pemerintah melakukan yang terbaik dengan sumber daya yang tersedia. Daripada fokus pada “prediksi-prediksi negatif”, pemerintah memilih untuk kerja keras dalam menerapkan "protokol Kesehatan yang komprehensif, pemberian vaksin, dan perawatan klinis pada saat bersamaan.”
Secara terpisah, Kementerian Kesehatan telah menyerukan agar pengujian dan pelacakan kontak untuk ditingkatkan.
Pada tahap pertama, pemerintah berencana untuk memvaksinasi sekitar 1,5 juta petugas layanan kesehatan hingga 21 Februari, target yang menurut Kementerian Kesehatan sudah sesuai rencana.
Presiden Jokowi berharap 181 juta orang akan divaksinasi dalam 12 bulan ke depan, atau sekitar 1 juta per hari untuk vaksin dua dosis. Menurut Kementerian Kesehatan, pemerintah saat ini memvaksinasi sekitar 50 ribu orang per hari.
Persyaratan logistik dan rantai pendingin di Tanah air yang tersebar di lebih dari 17 ribu pulau diperkirakan akan mempersulit peluncuran program vaksinasi tersebut.
Pemadaman Listrik
Dari Jakarta, vaksin akan dikirim ke lebih dari 10 ribu puskesmas di seluruh negeri, beberapa berada di daerah terpencil dengan sumber daya terbatas. Itu berarti menjaga vaksin tetap dalam suhu dingin akan menjadi tantangan.
“Bayangkan saja Anda memiliki lemari es yang penuh dengan vaksin dan listrik padam,” kata Ines Atmosukarto, seorang pakar biologi molekuler yang bekerja pada pengembangan vaksin. "Semua dosis itu harus dibuang ke tempat sampah."
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, Herwan Anton, mengatakan beberapa puskesmas tidak memiliki lemari pendingin atau daya listrik yang stabil.
BACA JUGA: Pemerintah Prioritaskan Vaksinasi COVID-19 untuk Nakes LansiaSeorang mantan pejabat senior pemerintah mengatakan pemerintah tidak siap untuk tugas raksasa dengan mengandalkan lemari es komersial atau rumah tangga daripada lemari es medis.
"Rasio pemborosan atau pembusukan akan sangat tinggi," katanya.
Pejabat senior Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi membantah adanya kekurangan rantai pendingin di Tanah Air. Ia mengatakan bahwa Indonesia memenuhi persyaratan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) dengan membeli lemari es medis, beberapa di antaranya bertenaga surya.
Kementerian, tambahnya, juga telah mengikutsertakan Unilever Indonesia yang menyediakan lebih dari 200 lemari pendingin es krim untuk vaksin.
“Mendapatkannya bukan masalah,” kata Diah Saminarsih, penasihat senior direktur jenderal WHO di Jenewa. “Mendistribusikannya berpotensi menemui masalah.”
Fase pertama akan selalu menjadi yang termudah, kata para ahli kesehatan, mengingat ada data petugas layanan kesehatan yang baik dan sebagian besar adalah penerima yang bersedia.
Namun ada tanda-tanda awal bahwa ketidakpercayaan bisa menjadi batu sandungan.
Di Gowa, di Sulawesi Selatan, hingga 200 pekerja medis menunda program vaksinasi. Beberapa dari mereka, kata pejabat senior setempat Gaddar, percaya vaksin akan memiliki efek samping yang berbahaya atau haram atau karena mereka memiliki penyakit penyerta atau komorbid.
Di Papua, beberapa pekerja medis menolak vaksin karena takut akan "konspirasi antikristus global," kata Ni Nyoman Sri Antari, Kepala Dinas Kesehatan di Ibu Kota Provinsi Papua, Jayapura.
Kementerian Kesehatan mengatakan angka ini tidak akurat dan sebagian besar petugas kesehatan telah mendaftar ulang.
Namun jajak pendapat Saiful Mujani Research and Consulting menunjukkan hanya 37% dari 1.202 responden yang bersedia divaksinasi, 40 persen ragu-ragu, dan 17 persen akan menolak.
BACA JUGA: Vaksin-Vaksin COVID-19 Diluncurkan Walau Tanpa Cukup BuktiKetinggalan Zaman
Pakar kesehatan masyarakat mengatakan gangguan itu bahkan lebih menjadi alasan untuk menggandakan dasar-dasar pengujian, pelacakan, dan isolasi.
“Mereka perlu kembali ke ukuran kesehatan masyarakat yang lama,” kata Ines, pakar biologi molekuler. “Ini tidak se-seksi ... kita suka berpikir ada solusi ajaib dalam bentuk pil atau tusukan.”
Bahkan saat program vaksinasi dimulai, pandemi di Tanah Air malah semakin memburuk.
Kasus COVID-19 yang terkonfirmasi di Tanah Air telah melampaui satu juta dengan tingkat orang yang dites ditemukan positif COVID-19 mencapai 35 persen - salah satu yang tertinggi di dunia dan indikator bahwa infeksi jauh lebih luas.
Ahli epidemiologi mengatakan mungkin kasus infeksi yang riil mencapai lebih dari tiga juta, dengan jumlah kematian jauh di atas 31 ribu yang tercatat.
Pemerintah telah mengamaknkan hampir 330 juta dosis vaksin dari Sinovac China, AstraZeneca dan Novavax, tetapi saat ini hanya memiliki sekitar 3 juta dosis siap pakai dari Sinovac.
Vaksin Novavax dan AstraZeneca dijadwalkan tiba pada kuartal kedua, sementara 25 juta dosis akan diproduksi di Indonesia dari bahan milik Sinovac sebelum akhir Maret.
Dicky Budiman, seorang peneliti pandemi di Griffith University Australia, mengatakan dibutuhkan waktu dua, mungkin tiga tahun, untuk menyelesaikan program tersebut. Jauh lebih lama dibandingkan target ambisius pemerintah, yaitu Januari 2022.
“Vaksin tidak bisa menjadi ujung tombak upaya ini,” katanya. "Kecepatan vaksin tidak bisa menyamai kecepatan penularan virus,” katanya. [ah/au/ft]