Pekerja asing yang melamar pekerjaan di Amerika memiliki berpeluang besar disetujui permohonan visanya. Hal itu tercermin dari laporan National Foundation for American Policy yang menunjukkan otoritas imigrasi Amerika menyetujui lebih dari 97 persen aplikasi visa H1-B pada tahun fiskal 2024,
Tingkat persetujuan visa tersebut mencapai angka tertinggi kedua dalam lebih dari satu dekade. Namun, sejumlah pengacara imigrasi memperingkatkan bahwa tingkat kesuksesan mendapatkan visa yang sangat tinggi itu bisa segera berakhir jika tim Presiden terpilih Donald Trump kembali menerapkan kebijakan imigrasi ketat sebagaimana yang dilakukan pada pemerintahan pertamanya. Dan hal itu dapat memengaruhi bisnis Amerika Serikat dan lembaga yang bergantung pada pekerja asing terampil, terutama dari India.
"Saya pikir akan semakin sulit, dan akan semakin rumit untuk menyetujui berbagai hal," kata Sharvari Dalal-Dheini, direktur senior hubungan pemerintah di American Immigration Lawyers Association (AILA) dan mantan pengacara untuk U.S. Citizenship and Immigration Services (USCIS).
Kritikus mengatakan perusahaan mengeksploitasi program tersebut.
Program H-1B yang dimulai pada 1990 memungkinkan perusahaan Amerika Serikat mempekerjakan pekerja asing di bidang-bidang khusus seperti teknologi, teknik, dan perawatan kesehatan, melalui 85.000 visa yang dikeluarkan melalui undian. Dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari 70 persen slot tersebut diterima oleh pekerja asal India, diikuti oleh warga negara China.
Program ini menjadi topik kontroversial. Pendukung program tersebut menyoroti perannya dalam menarik talenta asing terbaik dan mengisi pekerjaan penting di Amerika Serikat. Sebuah studi dari National Foundation for American Policy pada 2016 mengungkapkan bahwa hampir seperempat perusahaan rintisan bernilai miliaran dolar di Amerika didirikan oleh orang yang pertama kali datang sebagai mahasiswa internasional.
Namun, para kritikus menganggap program ini sebagai ancaman bagi pekerja Amerika. Ira Mehlman dari Federation for American Immigration Reform (FAIR) mengingatkan peristiwa kontroversial di Disney sepuluh tahun lalu, di mana perusahaan memecat ratusan staf warga Amerika dan memaksa mereka melatih pekerja asing pengganti sebagai syarat agar mereka mendapatkan pesangon.
Meskipun Disney membantah melakukan kesalahan dan memenangkan gugatan hukum berikutnya, kasus tersebut menjadi perhatian bagi kelompok anti-imigran.
BACA JUGA: Pegawai Federal Amerika Serikat Hadapi Ketidakpastian Usai Janji Trump untuk Rampingkan PemerintahanFAIR mengatakan perusahaan-perusahaan Amerika mengeksploitasi sistem untuk mempekerjakan tenaga kerja asing yang lebih murah, sehingga menurunkan upah di Amerika.
"Ada banyak pekerja teknologi di Amerika Serikat, dan seharusnya perusahaan-perusahaan ini memprioritaskan untuk mempekerjakan warga negara Amerika," kata Mehlman, Direktur Media FAIR, dalam wawancara dengan VOA.
Mehlman menyatakan bahwa program ini telah menyimpang dari tujuan awalnya, yang seharusnya hanya berfungsi sebagai program untuk pekerja asing sementara. Sebaliknya, warga negara asing kini memanfaatkannya sebagai jalan untuk menjadi warga negara Amerika.
"Ini seharusnya menjadi program yang mengatakan Anda akan datang ke sini untuk jangka waktu tertentu, durasi visa Anda, dan kemudian Anda akan kembali ke rumah," kata Mehlman.
Banyak anggota Kongres dari Partai Republik, termasuk Trump, sependapat dengan kritik tersebut. Pada 2016, Trump berkampanye untuk mengakhiri apa yang disebutnya "program tenaga kerja murah."
Meskipun tidak berhasil, pemerintahan Trump yang pertama segera bergerak menentang program tersebut setelah Trump mengeluarkan perintah eksekutif Buy American, Hire American beberapa bulan setelah menjabat. Pejabat imigrasi kemudian memberlakukan persyaratan yang lebih ketat terkait gelar dan upah bagi pekerja asing.
Sebagian besar aturan tersebut akhirnya dibatalkan oleh pengadilan. Namun, petugas imigrasi menemukan cara lain untuk menghambat program tersebut, seperti menyetujui beberapa permintaan visa hanya untuk satu tahun, bukannya tiga tahun, menolak perpanjangan otomatis, dan meningkatkan inspeksi tempat kerja. Menurut pengacara imigrasi, pemohon visa kini menghadapi tuntutan lebih tinggi untuk menyediakan bukti guna memproses petisi mereka.
Dampak aturan ketat itu sangat besar. Penolakan visa baru melonjak hingga 24 persen pada 2018 dan turun menjadi 21 persen pada 2019 sebelum melandai menjadi 13 persen pada 2020. Hal itu menandai perubahan tajam dari era Obama, ketika sekurangnya hanya satu dari 10 petisi ditolak.
BACA JUGA: AS Deportasi 270.000 Imigran Setahun Terakhir, Paling Tinggi Dalam Satu Dekade"Apa yang kami lihat berhasil secara efektif di bawah pemerintahan Trump adalah perombakan sistem," kata Dalal-Dheini, yang bekerja sebagai penasihat khusus di USCIS selama pemerintahan Trump pertama.
Masih Belum Jelas
Meskipun mengubah aturan dan regulasi itu merepotkan dan memakan waktu, pengacara imigrasi memperingatkan tentang kemungkinan kembalinya taktik yang digunakan pemerintahan Trump pertama untuk membatasi jumlah visa yang dikeluarkan untuk pekerja asing.
Kathleen Campbell Walker, kepala praktik imigrasi di firma hukum Dickinson Wright, menyatakan kekhawatirannya bahwa peningkatan pengawasan oleh agen anti-penipuan federal dapat memperlambat proses dan menimbulkan "kesulitan lebih dalam mendapatkan persetujuan untuk status visa H-1B."
"Itu membuat saya khawatir," Walker, mantan presiden nasional AILA, mengatakan kepada VOA.
Rencana pemerintah baru terkait program visa masih belum jelas. Tim transisi Trump belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar dari VOA. Namun, seorang juru bicara kampanye mengatakan kepada The Washington Post awal tahun ini bahwa Trump "akan mengembalikan semua kebijakan [imigrasi] sebelumnya" begitu kembali ke Gedung Putih.
Meskipun pemerintahan baru Trump diperkirakan akan fokus pada tindakan keras terhadap imigran tanpa dokumen, pengacara imigrasi menyatakan bahwa pemerintahan tersebut bisa saja menargetkan baik imigrasi legal maupun ilegal, mengingat pengangkatan tokoh garis keras seperti Stephen Miller, wakil kepala staf Gedung Putih Trump yang baru.
Namun, sinyal yang muncul beragam. Trump pernah mengusulkan pemberian green card atau kartu penduduk tetap kepada lulusan asing dari perguruan tinggi dan universitas Amerika. Di sisi lain, sekutu dekatnya, Elon Musk, mendukung penuh program H-1B. Tesla tercatat mempekerjakan 742 pekerja asing baru pada tahun fiskal 2024, menempati peringkat ke-16 di antara perusahaan Amerika Serikat dengan persetujuan visa H-1B terbanyak.
Meskipun masih belum jelas sejauh mana pengaruh Musk terhadap kebijakan imigrasi Trump, Walker berharap Musk dapat berperan dalam membawa perubahan positif bagi kategori H-1B. [ah/ft]