Tanggal 1 September menandai hari pertama sekolah di Daerah Otonomi Mongolia di bagian utara China, tetapi pemboikotan di kelas membuat banyak ruang kelas sekolah dan taman bermain kosong.
Ratusan siswa etnis Mongolia, orang tua dan guru memprotes kebijakan pendidikan dwibahasa baru yang mereka katakan akan membahayakan bahasa dan budaya Mongolia.
Kebijakan yang diumumkan sebelum awal semester musim gugur itu, mengharuskan sekolah untuk menggunakan buku teks nasional dalam bahasa Mandarin mulai dari kelas satu sekolah dasar hingga menengah, menggantikan buku teks Mongolia saat ini. Pengajaran dalam bahasa Mandarin diperkirakan meluas ke kursus politik dan moralitas dan kelas sejarah selama dua tahun ke depan.
Protes oleh siswa, orang tua, guru, dan warga Mongolia telah berlangsung di banyak kota di Mongolia, selama beberapa hari terakhir, semuanya menentang kebijakan "pengajaran dwibahasa" yang diterapkan oleh Departemen Pendidikan Mongolia.
Video yang dibagikan oleh organisasi hak asasi manusia, Pusat Informasi Hak Asasi Manusia Mongolia Selatan menunjukkan ratusan siswa sekolah menengah berseragam sekolah meneriakkan "pertahankan budaya dan bahasa Mongolia", sementara sebagian diantaranya dengan bantuan orang tua dan warga, terlihat menerobos gerbang sekolah dan meninggalkan sekolah.
Banyak yang lainnya memilih untuk tidak ikut dalam demonstrasi publik menentang kebijakan tersebut, takut akan kemungkinan pembalasan keras oleh otoritas China. [my/pp]