Di jalan-jalan kota Roma, Italia, frustrasi akan pembatasan pandemi memuncak pekan ini ketika pengunjuk rasa yang putus asa, banyak dari mereka adalah pemilik restoran dan pemilik usaha kecil, mengeluhkan pembatasan dan lockdown yang berulang guna menekan penularan virus corona.
Banyak pengunjuk rasa, yang menekankan bahwa mereka tidak menyangkal adanya COVID-19, adalah anggota gerakan "Iām Opening.ā Mereka adalah pemilik bar dan restoran yang menentang pembatasan, melanggar aturan dengan tetap membuka bisnisnya, sehingga dikenakan denda besar karena melakukannya.
Italia bukan satu-satunya negara Eropa yang mengungkapkan kekesalan atas hancurnya finansial dan terbatasnya kebebasan. Mereka juga tidak sendiri dalam menuntut agar pembatasan dilonggarkan, meskipun infeksi meningkat.
BACA JUGA: Lebih dari 1.000 Warga Bosnia Potes Penanganan Pandemi PemerintahDalam beberapa pekan ini, semakin banyak protes di Austria, Inggris, Finlandia, Rumania, Swiss, Polandia, Prancis, Bulgaria, Serbia, Belanda dan Rumania. Polisi Jerman tengah bulan lalu menggunakan meriam air, semprotan merica, dan pentungan terhadap pengunjuk rasa yang menolak lockdown di kota Kassel. Demonstran berjumlah sekitar 20.000 orang.
Di banyak negara, kemarahan anti-lockdown bercampur dengan keluhan lain. Di Inggris, kemarahan berbaur dengan protes atas penculikan dan kematian seorang wanita, usia 33 tahun, diduga oleh polisi yang bertugas, yang kini dituduh melakukan pembunuhan itu. Di beberapa negara, pengunjuk rasa mencela pemerintah yang menangguhkan hak protes karena krisis kesehatan masyarakat. [ka/pp]