Puluhan Ormas Madani Serukan Pemerintah Indonesia Dukung Resolusi Anti-Perkawinan Anak

Anak-anak perempuan di Malawi berunjuk rasa menentang kekerasan pada anak dan pernikahan dini (foto: L. Masina/VOA)

Pemerintah Indonesia dihimbau untuk untuk ikut mendukung resolusi PBB tentang perkawinan anak secara dini dan dipaksakan, sebelum batas akhir pemberian dukungan pada 10 Juli 2017.

Sedikitnya 80 organisasi masyarakat sipil dan hampir 300an individu menyerukan pada pemerintah Indonesia untuk ikut mendukung resolusi PBB tentang perkawinan anak secara dini dan dipaksakan, sebelum batas akhir pemberian dukungan pada 10 Juli 2017.

Dalam pernyataan tertulis yang diterima VOA beberapa saat lalu tampak organisasi-organisasi masyarakat sipil terkemuka ikut menandatangani seruan tersebut, antara lain : Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Indonesia, Jurnal Perempuan, Kalyanamitra, CEDAW Working Group Indonesia, Institut Kapal Perempuan, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), LBH APIK, Migrant Care dan banyak lainnya. Sementara di kalangan individu terdapat Prof. Saparinah Sadli, Dr. Kartini Sjahrir, Sjamsiah Achmad, Tini Hadad, Ray Rangkuti, Wahyu Susilo dan sejumlah aktivis perempuan.

PBB memberi kesempatan kepada seluruh pihak untuk menyampaikan dukungan atas resolusi nomor A/HRC/35/L.36 terkait “Child Early & Forced Marriage in Humanitarian Setting,” yang mengakui ketidakadilan gender sebagai akar penyebab perkawinan anak, hingga 10 Juli mendatang.

Indonesia merupakan negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia, dimana satu dari lima perempuan Indonesia yang berusia 20-24 tahun telah melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun. PBB mencatat bahwa perkawinan anak di Indonesia lebih sering terjadi di daerah-daerah pedalaman. Tingkat perkawinan anak sebelum usia 15 tahun yang tertinggi terjadi di Sulawesi Barat karena alasan budaya dan tradisi. Sementara di beberapa daerah lain penyebabnya beragam, termasuk agama, kemiskinan, ketergantungan ekonomi, praktek mahar dan insentif keuangan bagi orang tua, hingga ketidaktahuan karena minimnya pendidikan.

Pernyataan yang dikeluarkan Jum'at siang (7/7) itu menyatakan perkawinan anak terbukti melanggar hak anak, terutama hak atas pendidikan dan layanan kesehatan. Anak perempuan yang dikawinkan berpotensi tidak melanjutkan sekolah sehingga mempersempit peluang mendapat pekerjaan yang layak. Mereka juga rentan menderita kanker serviks karena belum sempurnanya alat reproduksi untuk berhubungan seksual dan hamil. Kematian juga kerap membayangi karena kehamilan di usia muda.

Sepuluh negara dengan tingkat perkawinan anak terbesar di dunia adalah

India

26.610.000 kasus

Bangladesh

3.931.000 kasus

Nigeria

3.306.000 kasus

Brazil

2.928.000 kasus

Ethiopia

1.974.000 kasus

Pakistan

1.875.000 kasus

Indonesia

1.408.000 kasus

Meksiko

1.282.000 kasus

Republik Demokratik Kongo

1.274.000 kasus

Tanzania

887.000 kasus


* Kasus perempuan usia 20-24 tahun yang pertama kali menikah sebelum usia 18 tahun. Sumber: UNICEF, State of the World's Children, 2016

Menurut rencana selain menyerahkan pernyataan ini kepada Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri terkait, organisasi-organisasi masyarakat sipil itu juga akan memasang pesan informatif secara berkala tentang urgensi menolak perkawinan anak di akun sosial media mereka secara bersamaan, pada hari Jum'at (7/7) mulai jam enam sore, dengan tagar #StopPerkawinanAnak. [em]