Suara nyanyian dan tawa anak-anak terdengar keras dari sebuah tenda bantuan UNICEF yang di dirikan di halaman sekolah Dasar Negeri Lolu, Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah pada Kamis pagi (25/10). Tenda yang difungsikan sebagai kelas darurat itu setidaknya memungkinkan anak-anak kembali ke sekolah meskipun kegiatan belajar mengajar belum berlangsung seperti pada hari-hari normal sebelum gempa bumi merubuhkan bangunan sekolah mereka pada 28 September 2018 silam.
Situasi pasca bencana alam yang merusak rumah-rumah penduduk di desa itu menyebabkan anak-anak datang bersekolah dengan kondisi apa adanya dari lokasi-lokasi pengungsian, tanpa menggunakan baju seragam, tanpa sepatu, bahkan alat-alat tulis menulispun belum mereka miliki. Meskipun demikian, anak-anak yang berusia 7 hingga 12 tahun itu nampak larut dalam berbagai bentuk permainan yang dipandu para relawan yang hari itu berasal dari Malang, Jawa Timur.
Your browser doesn’t support HTML5
"Kalau ada gempa, lindungi kepala
Kalau ada gempa, masuk kolong meja" (lagu gempa)
Bara Arya, relawan dari Komunitas Pecinta Alam Malang "Satu Jiwa" dari Jawa Timur mengatakan ia dan para relawan lainnya berupaya menghadirkan keceriaan bagi anak-anak terdampak gempa melalui nyanyian dan permainan. Metode yang sama juga digunakan untuk mengajarkan anak-anak tersebut mengenai gempa bumi, dan bagaimana menghadapinya.
“Kami datang ke sini, untuk menghibur adik-adik kami, berbagi keceriaan dan salah satu bentuk keceriaan kita wujudkan dalam bentuk-bentuk permainan, bentuk games, yah antara lain pengetahuan tentang gempa lewat bentuk games. Bagaimana mengamankan diri ketika gempa itu berlangsung,” kata Bara.
Bara Arya mengatakan anak-anak sangat ceria ikut bermain bersama teman-teman mereka meskipun kegiatan bersekolah dilakukan di dalam tenda, menurutnya situasi itu mencerminkan semangat mereka yang mulai bangkit. Ia mengatakan di wilayah itu anak-anak umumnya masih tinggal di lokasi-lokasi pengungsian sehingga penting untuk memberikan perhatian pada kebutuhan sanitasi dan sarana kesehatan yang memadai untuk menghindarkan anak-anak terkena penyakit.
Cia (11) pelajar kelas 5 mengatakan kegiatan di tenda kelas darurat itu cukup menghiburnya, ia bisa bermain, bernyanyi, belajar bersama para relawan yang disebutnya sangat baik.
“Senang karena kakak-kakak semua ini baik. Yang dilakukan banyak bermain, bernyanyi, belajar,” tuturnya.
Pelajar kelas 5 yang masih tinggal di pengungsian itu berharap kondisi di desanya bisa kembali seperti dulu, termasuk bangunan sekolahnya yang rubuh akibat gempa dapat dibangun kembali.
BACA JUGA: Akhiri Masa Tanggap Darurat, Sulteng Tetapkan Masa Transisi 2 BulanTamin Ama Kepala Sekolah Dasar Negeri Lolu mengatakan kehadiran para relawan yang silih berganti setiap hari memberikan hiburan bagi anak-anak yang diakuinya umumnya masih trauma pasca gempa. Hingga hari itu, belum 50 persen dari 166 siswa yang telah kembali bersekolah, banyak anak-anak usia sekolah masih di bawah keluarganya mengungsi ke tempat yang lain.
“Yah kalau sekolah sekarang ini pak belum 50 persen anak-anak datang karena masih banyak orang tua bawa. Karena Lolu ini Pak, 100 persen desa Lolu ini hancur rubuh lantak begitu, tidak ada dihuni lagi,” ujar Tamin.
Data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah per tanggal 19 Oktober 2018 mencatat 1.129 bangunan sekolah di Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong terdampak bencana alam. Dari jumlah itu 1.439 ruang kelas rusak berat, 2.066 ruang kelas rusak sedang dan 2.586 ruang kelas rusak ringan. Saat ini kegiatan belajar mengajar dialihkan ke 1043 tenda sebagai ruang kelas darurat yang sudah didirikan di berbagai lokasi, dimana masih dibutuhkan 424 tenda lagi untuk mencapai kebutuhan 1.467 tenda. [yl/em]