Retorika Panas Amerika dan Korea Utara

Seorang polisi lalu lintas Korea Utara berdiri di depan slogan propaganda: "Menjaga dengan sikap laksanakan-atau-mati di Pyongyang. (Foto:dok)

Suara genderang perang semakin gencar terdengar antara para pemimpin Korea Utara dan Amerika, dan menimbulkan kekhawatiran akan pecahnya lagi konflik di Semenanjung Korea yang berakhir 64 tahun yang lalu dengan gencatan senjata.

Kantor berita resmi Korea Utara mengatakan, pemerintahnya akan mengambil apa yang disebutnya sebagai “pembalasan yang seribu kali lebih kuat” terhadap Amerika yang mendorong sanksi-sanksi internasional baru terhadap negara yang punya program nuklir itu.

Korea Utara juga mengatakan tidak akan pernah menghentikan program nuklirnya, dan menyebut sanksi-sanksi baru itu sebagai “reaksi panik” Amerika, negara yang disebutnya sebagai bully.

Presiden Donald Trump tidak mau kalah dan mengatakan hari Selasa (8/8) dari lapangan golfnya di New Jersey:

“Korea Utara sebaiknya jangan membuat ancaman-ancaman baru terhadap Amerika, karena ancaman itu akan dihadapi dengan api dan kemurkaan yang luar biasa, yang belum pernah dilihat dunia sebelumnya. Dia (Kim Jong-un) telah mengeluarkan ancaman kuat, dan seperti saya katakan tadi, ancaman itu akan kami hadapi dengan api, kemurkaan besar dan kekuatan senjata, yang belum pernah dilihat dunia.”

Tidak jelas apa yang dimaksud Trump dengan “fire and fury” atau “api dan kemurkaan yang luar biasa” itu, tapi ketika Presiden George Bush Junior melancarkan perang terhadap Irak, 14 tahun yang lalu, ia menyebut serangan itu sebagai “shock and awe” atau “serangan kilat yang hebat” untuk melumpuhkan lawan.

Anggota DPR Tom Cole dari Partai Republik mengatakan:

“Korea Utara adalah negara jahat yang telah berulang kali melanggar tata cara atau perilaku dan hukum internasional; negara yang dipimpin oleh orang yang punya penyakit jiwa, dan tingkah lakunya tidak bisa diperkirakan. Selain itu, kalau ditambahkan unsur senjata nuklir yang dipunyainya, semua orang yang rasional haruslah khawatir.”

Sanksi paling baru terhadap Korea Utara itu lebih bersifat ekonomi yang bisa merugikan negeri itu sampai satu miliar dolar dengan menghambat ekspor bahan-bahan tambangnya, terutama ke China. Kata Tom Cole lagi:

“Kami bisa memperkirakan berapa besar ekspor bahan tambang Korea Utara ke China, dengan menghitung berapa banyak kereta api dan truk yang melewati perbatasannya ke China.”

Kata anggota DPR dari negara bagian Oklahoma itu, bahkan China ikut dalam mendukung sanksi PBB terhadap pemerintahan Pyongyang, karena China khawatir kalau terjadi perang terbuka dengan Amerika, Korea Utara akan hancur dan akan terjadi arus pengungsian besar yang masuk ke China. Tapi kekhawatiran China yang lebih besar adalah, konfrontasi antara Korea Utara dan Amerika akan mendorong Korea Selatan dan Jepang untuk ikut membuat senjata nuklir. Kata Tom Cole lagi:

“Itu akan menjadi mimpi terburuk bagi China, sesuatu yang mereka harapkan tidak akan pernah terjadi. Karena itulah Amerika harus tetap menjadi payung nuklir bagi Korea Selatan dan Jepang.”

Kalau keadaan memburuk, Amerika juga bisa terlibat konfrontasi ekonomi dengan China karena negara itu punya surplus perdagangan yang sangat besar dengan Amerika, lebih dari satu triliun dolar, kata Tom Cole. (Isa Ismail)