Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil akan membangun fasilitas pengolahan sampah plastik menjadi bahan bakar. Pembangunan ini ditargetkan menjadi sistem yang pertama se-Asia Tenggara.
Ridwan Kamil mengatakan fasilitas itu akan mengonversi sampah plastik menjadi bahan bakar pengganti batu bara dalam skala industri. Proyek ini akan dibangun di lima lokasi yaitu Bandung, Bogor, Bekasi, Ciayumajakuning, dan Tasikmalaya.
Emil, sapaan akrabnya, mengatakan pembangunan akan dimulai di Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat, dan Galuga, Kabupaten Bogor, dua lokasi yang dianggap paling siap.
“Jadi akhir tahun kita punya waste to energy pertama, yang mengubah sampah dari municipal waste kota, menjadi pengganti batu bara,” ujarnya Rabu (5/2).
Gandeng Investor Inggris
Menggandeng investor Inggris, Plastic Energy Ltd., Emil mengatakan seluruh biaya konstruksi ditanggung oleh perusahaan itu. Dengan nilai sekira Rp 750 miliar per lokasi, total proyek ini memakan 3,75 triliun.
"Lima puluh juta euro atau sekitar 750 miliar rupiah per lokasi," beber Emil.
Kedua sistem pengolahan sampah ini dapat mengubah 50.000 ton sampah plastik per tahun, ujar Chief Executive Officer (CEO) Plastic Energy Ltd., Carlos Monreal.
"(Pengolahan sampah) di Bandung dapat menampung 600 ton sampah plastik per hari dan jika ditotal, Bandung dan Bogor dapat menampung 50.000 ton (sampah plastik) per tahunnya," jelas Carlos.
Emil dan Carlos sudah bertemu di London, Juli 2019.
Dalam pertemuan itu, Carlos menjelaskan bahwa satu ton sampah plastik dapat menghasilkan 85 liter biodiesel alias green diesel. Bahan bakar ini bisa digunakan untuk mobil hingga truk.
Efektivitas Dipertanyakan
Namun demikian, Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) mempertanyakan efektivitas plastic-to-energy tersebut.
Your browser doesn’t support HTML5
Direktur Operasional YPBB Fictor Ferdinand mengatakan, bahan bakar yang dihasilkan tetap dapat mencemari udara. “Jadi kalau misalnya bilang ini bukan pembakaran, menurut kami agak problematik juga. Karena ujung-ujungnya bahan bakar yang dihasilkan dari situ dibakar juga,” ujarnya saat dihubungi.
Fictor menambahkan, sampah yang bisa diolah pun tidak banyak. “Dari hasil riset kita, kalau lihat komposisi residu yang bisa jadi bahan bakunya perusahaan seperti plastic-to-energy, itu sekitar 30 persenan. Jadi kecil sebenarnya,” jelasnya.
Penelitiannya menunjukkan, sampah yang paling banyak (mencapai 50 persen) justru adalah adalah sampah organik.
Fictor justru mendorong pengurangan sampah lewat program "Zero Waste Cities" atau yang sudah berjalan.
Di Indonesia, ada delapan kota yang berniat mengadopsi model ini.
Di Kota Bandung, Pemkot dan YPBB sudah memulai inisiatif "Kang Pisman" (Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan), yang sudah berjalan di delapan kelurahan.
Program ini bergulir sejak 2018, dan digodok ketika Ridwan Kamil masih jadi Wali Kota Bandung.
Fictor mengatakan, sebaiknya Emil mendukung program tersebut. “Kendalanya adalah kenapa itu nggak bisa cepat meluas? Infrastruktur kebijakan dan kelembagaan gitu ya, dan pembiayaan itu nggak support,” desak alumnus magister Biologi ITB ini. [rt/em]