Ada pertanyaan yang seringkali muncul terkait kelompok teroris Santoso di Poso Sulawesi Tengah yaitu seberapa besar kekuatan personel dan persenjataan yang dimiliki oleh kelompok yang menamakan diri mereka Mujahidin Indonesia Timur itu.
Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah menyebutkan berdasarkan analisis sementara, kekuatan kelompok Teroris Santoso semakin lemah baik dari segi persenjataan maupun jumlah personel, akibat kelaparan karena kesulitan logistik serta perpecahan di dalam kelompok itu sendiri.
Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah AKBP Hari Suprapto, Kamis (27/4) kepada VOA di Poso menjelaskan kelompok yang kini beranggotakan 25 orang itu diyakini hanya memiliki lima pucuk senjata api laras panjang jenis SS1, SS2, dan M16 yang dipegang orang-orang penting di dalam kelompok itu, di antaranya adalah Santoso, Basri dan Ali Kalora. Amunisi yang dimiliki h kelompok itu juga diyakini terbatas dengan kondisi tidak terawat dan mungkin tidak bisa digunakan karena lembab.
“Kemudian persenjataan kita lihat, hanya diperkirakan tinggal lima buah. Yah, itu senjata laras panjang baik jenis SS maupun M16,” kata AKBP Hari Suprapto.
Your browser doesn’t support HTML5
Karena jumlah senjata api yang terbatas, maka anggota lain dalam kelompok itu hanya dibekali senjata tajam dan bom rakitan antara satu hingga tiga buah. Kepemilikan bom rakitan itu pun tidak merata sehingga Polisi menduga semakin penting posisi orang itu dalam kelompok Santoso, maka ia bisa memiliki dua hingga tiga buah bom rakitan.
“Kalau kita lihat dari beberapa penangkapan itu yang di kelompok luar, hanya menggunakan bom, dalam arti bom rakitan. Dia ini kekuatan bom rakitan ini yang ada pada kelompok luar, yang selama ini kita tangkap adalah berkisar antara satu sampai tiga. Ini menandakan semakin banyak jumlah bomnya itu semakin tinggi kedudukan di dalam kelompok Santoso,” lanjutnya.
Dari sejumlah penangkapan yang dilakukan oleh Satgas Operasi Tinombala 2016 terhadap anggota kelompok itu, Polisi bisa memastikan Santoso dan kelompoknya kelaparan karena kesulitan mendapatkan bahan makanan setelah Operasi Tinombala 2016 mendirikan pos-pos sekat di desa-desa yang berbatasan dengan hutan pegunungan.
“Kalau kita lihat juga kondisi beberapa yang sudah kita tangkap atau menyerahkan diri, kondisi kelaparan. Kita bisa pastikan mereka tidak mendapat pasokan logistik kemudian kesulitan mencari logistik,” kata AKBP Hari Suprapto.
AKBP Hari Suprapto mengatakan dengan melemahnya kekuatan kelompok Santoso, maka hanya soal waktu sebelum akhirnya kelompok itu dapat ditangkap atau justru menyerahkan diri kepada aparat keamanan.
Sementara itu, warga sangat berharap agar Operasi Tinombala 2016 segera menumpas Kelompok Santoso. Kani Wengkau (63) warga desa Patiwunga, Kecamatan Poso Pesisir Selatan kepada VOA mengungkapkan kondisi 250 keluarga di desa itu yang resah dan merasa tidak aman beraktivitas di kebun yang selama ini menjadi sumber pendapatan mereka.
“Memang secara manusia itu kami merasa takut. Takut sekali. Makanya kami minta kepada Pemerintah bahkan semua aparat untuk bisa bertindak cepat supaya kami sebagai masyarakat di sini akan mendapat yaitu jaminan keamanan supaya kami bisa bebas, sebab sementara ini kami dengan keadaan ini, kami tidak bisa keluar, kami tidak bisa lagi, masyarakat yang hanya bisa hidup dalam pencaharian dibidang pertanian, kami sudah tidak bisa lagi mendapat apa-apa,” kata Kani Wengkau.
Sejak dimulai pada 10 Januari, Operasi Tinombala 2016 telah menewaskan 11 anggota Kelompok Santoso dan menangkap lima orang di antaranya. [yl/uh]