Serangan Terhadap Perempuan Pembela HAM Terus Meningkat

Anggota Komnas Perempuan Andy Yentriyani. (Eva Tobing for Wikimedia). Pada tahun 2020 Komnas Perempuan telah menerima 36 kasus serangan dalam berbagai bentuk kekerasan maupun kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM.

Komnas Perempuan mencatat bahwa serangan terhadap perempuan pembela hak asasi manusia (HAM) di Indonesia terus meningkat. Serangan yang didapat para perempuan pembela HAM pun beragam.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengungkapkan bahwa serangan terhadap perempuan pembela HAM terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2020 Komnas Perempuan telah menerima 36 kasus serangan dalam berbagai bentuk kekerasan maupun kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM.

"Jumlah ini naik dari tahun 2019 yang hanya mencatat sekitar 5 kasus," kata Andy dalam Peringatan Hari Perempuan Pembela HAM, Kamis (2/12).

Menurut Andy, para perempuan pembela HAM rentan mengalami ancaman dan kekerasan yang tidak hanya membahayakan dirinya sendiri tapi juga keluarga serta kerabatnya. Ancaman itu didapatkan dari pesan singkat maupun melalui media sosial atas ketidaksukaan pelaku terhadap kerja pendampingan dan advokasi yang dilakukan perempuan pembela HAM.

BACA JUGA: Tren Serangan terhadap Pembela HAM Makin Meningkat

"Kami kemudian mengidentifikasi bahwa karena perjuangannya perempuan pembela HAM menghadapi tantangan-tantangan yang serupa dengan rekan-rekannya laki-laki seperti ancaman kekerasan fisik bahkan penghilangan nyawa," ujarnya.

Beragam Serangan

Ancaman yang didapatkan para perempuan pembela HAM juga bervariasi mulai dari intimidasi hingga kekerasan psikis. Lalu, pembunuhan karakter, pengucilan dan upaya pembungkaman serta penghancuran sumber penghidupannya.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani. (Anugrah Andriansyah)

"Tindakan kekerasan ini terjadi di ruang luring dan daring. Diikuti dengan aksi kriminalisasi secara ringkas yang dapat dimaknai sebagai upaya penuntutan hukum kepada pembela HAM oleh pihak yang merasa dirugikan," ungkap Andy.

Selain kerentanan yang bersifat umum. Identitas sebagai perempuan juga mengakibatkan serangan tambahan terhadap integritas diri dari perempuan pembela HAM seperti teror atau intimidasi bernuansa seksual. Kemudian, serangan yang menyasar peran ganda perempuan sebagai ibu atau istri sekaligus pembela HAM.

"Selanjutnya, pembunuhan karakter yang merujuk pada stereotip tentang sosok atau peran perempuan yang ideal atau ditentang dengan konstruksi masyarakat tentang perempuan tidak bermoral," jelas Andy.

Kekerasan Berlapis

Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sebagian besar dari pembela HAM yang menghadapi kriminalisasi adalah para pendamping kekerasan terhadap perempuan maupun isu lain terkait sumber daya alam, konflik lahan dan agraria serta ketenagakerjaan.

"Ancaman-ancaman ini selain kriminalisasi juga berupa intimidasi yang juga mengarah ke tubuh dan seksualitasnya," ucap Andy.

Bahkan kerentanan perempuan pembela HAM ini makin bertumpuk dengan tantangan tersendiri yang dihadirkan akibat kondisi pandemi COVID-19. Berangkat dari situasi yang dihadapi para perempuan pembela HAM. Komnas Perempuan tidak pernah berhenti berupaya untuk memperluas dan membangun dukungan publik dalam mendukung dan memberikan perlindungan maksimal bagi perempuan pembela HAM.

Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini. (Foto: Courtesy/Theresia)

Komisoner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, mengungkapkan sedikitnya 15 perempuan pembela HAM mengalami kriminalisasi sepanjang tahun 2018 hingga 2021. Sektor-sektor yang rentan terhadap kriminalisasi ini meliputi isu sumber daya alam, anti korupsi, kekerasan berbasis gender, buruh, dan hak menentukan nasib sendiri.

"Kasus-kasus yang paling banyak mendapatkan kerentanan adalah kasus terkait isu Papua dan kekerasan seksual. Itu masing-masing sebanyak empat kasus. Lalu, demonstrasi buruh, lingkungan, dan pemberantasan korupsi masing-masing dua kasus. Kemudian, kasus terkait isu kesehatan adalah satu kasus, ini terkait dengan COVID-19," ungkapnya.

Rekomendasi

Menurut analisis Komnas Perempuan tingginya kerentanan terhadap perempuan pembela HAM yang mengalami kriminalisasi dengan berbagai faktor penyebab. Salah satunya yakni para perempuan pembela HAM yang mendampingi korban kekerasan seksual sangat gampang dilaporkan atas kasus pencemaran nama baik dan kemudian dikenakan Undang-Undang ITE.

Atas hal tersebut Komnas Perempuan memberikan rekomendasi kepada beberapa institusi mulai dari DPR RI, aparat penegak hukum, hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, untuk memperkuat pemahaman dan kapasitas terkait penanganan terhadap perempuan pembela HAM agar tidak mudah dikriminalisasi.

"Lalu kepada Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, untuk melakukan upaya mendorong kebijakan perlindungan bagi perempuan pembela HAM. Kemudian, membangun mekanisme perlindungan terpadu bagi perempuan pembela HAM di tengah kekosongan payung hukum nasional," tutur Iswarini.

Komisioner Komnas HAM, Hairansyah Akhmad. (Anugrah Andriansyah).

Sementara, Komisioner Komnas HAM, Hairansyah Akhmad, mengatakan penyebab kriminalisasi dan serangan terhadap pembela HAM terus terjadi karena kewajiban konstitusional yang dimiliki negara belum dilaksanakan secara maksimal berupa pemenuhan, perlindungan dan penegakan hak asasi.

"Karena ada pengabaian dari negara terhadap kewajiban konstitusionalnya," ujarnya.

Lanjut Hairansyah, saat ini pemahaman pemerintah dan publik akan kehadiran para pembela HAM belum maksimal. Seharusnya peran dan kerja-kerja para pembela HAM harus disosialisasi baik dalam proses demokrasi maupun perlindungan hak asasi.

"Ketika serangan terhadap pembela HAM dilakukan maka itu sama dengan serangan terhadap demokrasi dan HAM. Ini penting menjadi pekerjaan rumah kita bersama," pungkasnya. [aa/em]