Data Pasien Corona, Mengapa Simpang Siur?

  • Nurhadi Sucahyo

Petugas medis yang mengenakan alat pelindung mengambil sampel darah dari pengunjung yang dites virus corona di Surabaya, provinsi Jawa Timur, 18 April 2020. (Foto: Antara/Didik Suhartono) via Reuters)

Eko, tokoh masyarakat salah satu kampung di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta segera melakukan koordinasi dengan warga, ketika mendengar salah satu tetangga mereka, T, dinyatakan meninggal pada suatu sore. Rencananya jenazah akan dimakamkan pagi harinya. Namun menjelang petang, petugas BPBD datang dan menginformasikan bahwa jenazah T harus dimakamkan malam itu juga dengan prosedur penanganan sesuai kasus COVID-19.

“Informasi yang kami terima dari petugas BPBD, tidak boleh disemayamkan, harus langsung. Jadi kami dengan ahli waris dan warga koordinasi, ini mau tidak mau harus dimakamkan pada malam harinya. Jadi jam 7 sampai 10 malam, kami gotong-royong gali kubur. Jam 10.30 malam, pemakaman dilakukan,”ujarnya.

Pemakaman standar Covid-19 kadang harus dilakukan malam hari karena jenazah harus dimakamkan maksimal empat jam setelah meninggal. (Foto: TRC)

Sebelum ini, warga hanya tahu bahwa T masuk rumah sakit karena asam lambung, ditambah sakit paru-paru dan jantung. Karena itu, proses pemakaman yang disiapkan disesuaikan tradisi selama ini. Jika meninggal pada petang, jenazah biasanya disemayamkan di rumah duka, dan pemakaman baru dilakukan siang hari berikutnya.

Rumah sakit tempat T dirawat memberi status PDP virus corona. Namun, status ini tidak tercatat di pemerintah setempat.

Lurah Panggungharjo, Bantul, Wahyudi Anggoro Hadi mengaku menerima laporan tentang warganya yang sakit. Setelah itu datang arahan agar disiapkan liang lahat, dan proses pemakaman akan dilakukan petugas yang memakai Alat Pelindung Diri (APD). Padahal lanjut Wahyudi, sampai hari ini pihaknya belum menerima informasi penetapan status T sebagai PDP.

“Terkait dengan selama perawatan seperti apa, kita juga tidak menerima informasi yang cukup. Dari data yang kita peroleh dari Dinas Kesehatan Bantul, yang bersangkutan tidak termasuk PDP. Kecuali kalau dia termasuk PDP, kita akan melakukan asistensi dan monitoring klinis,” lanjut Wahyudi.

T bukan kasus virus corona pertama di Panggungharjo, Bantul. Karena itu Wahyudi memastikan jika ada pasien terkait pandemi ini, pihaknya akan menerima surat keterangan dari Dinas Kesehatan. Hanya di kasus T inilah, surat keterangan yang ditunggu tak kunjung datang.

Tim TRC BPBD DIY bersiap melaksanakan pemakaman sesuai standar Covid 19 di markas mereka, 28 April 2020. (Foto: TRC BPBD DIY)

Di Sleman, DI Yogyakarta, ada kasus pasien berinisial BS. Konfirmasi alur kasus ini diperoleh melalui istrinya, R, yang saat ini sedang menjalani isolasi di rumah sakit. Dua kali R menjalani rapid test dan hasilnya selalu reaktif (positif). Pekan ini dia sedang menunggu hasil swab.

R mengawali cerita tentang suaminya dengan alur sesuai urutan waktu, dimana BS pernah bertugas di dua tempat ibadah berbeda pada 15 dan 17 Maret. Fakta ini penting, karena organisasi pengelola tempat ibadah ini menjadi salah satu klaster penularan di tingkat nasional. Pada 22 Maret, BS mulai batuk, dan sehari kemudian pergi ke dokter. Tanggal 27 Maret, BS mengalami sesak nafas dan dibawa ke Puskesmas. Sehari kemudian BS dibawa ke salah satu rumah sakit rujukan virus corona.

“Dinyatakan PDP dan harus isolasi tetapi tidak ada kamar isolasi di semua rumah sakit, akhirnya diminta isolasi mandiri di rumah. Tanggal 31 Maret, sesak nafas berat dan sempat tidak sadarkan diri dan akhirnya Tuhan panggil,” papar R melalui sebuah aplikasi percakapan.

Humas RSUP dr Sardjito Yogyakarta Banu Hermawan. (Foto: Humas Sardjito)

Kepala Bagian Humas dan Hukum RUSP dr Sardjito, Banu Hermawan membenarkan kedatangan pasien pada 31 Maret malam itu.

“Datang dalam kondisi Death On Arrival (DOA). Penyebabnya kami tidak bisa menduga-duga karena datang sudah meninggal,” ujar Banu.

Dimakamkan Sesuai Prosedur COVID-19

Baik T maupun BS dimakamkan dengan prosedur pemakaman pasien terinfeksi virus corona. Petugas yang memakamkan keduanya adalah anggota Tim Reaksi Cepat (TRC) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY.

Wahyu Pristiawan, Komandan TRC BPBD DIY mengatakan, organisasi yang dipimpinnya menjadi bagian dari posko dukungan operasional, gugus tugas Covid 19 DIY. Tim ini bergerak, karena belum ada lembaga yang khusus bertugas dalam pemakaman jenazah terkait virus corona. Padahal semakin ke belakang, semakin banyak rumah sakit membutuhkan petugas pemakaman khusus.

Wahyu Pristiawan, Komandan TRC BPBD DIY. (Foto: VOA Nurhadi)


Ditanya apakah semua yang dimakamkan tim TRC terkait virus corona, Pristiawan menyebut semua didasarkan pada keterangan yang diberikan pihak rumah sakit sendiri.

“Kalau di posko dukungan operasi gugus tugas ini menerapkan standar itu adalah PDP atau yang dinyatakan oleh rumah sakit berpotensi menular. Kalau deskripsinya dari rumah sakit itu sudah merupakan kemungkinan adalah penyakit menular, maka menjadi standar kita untuk menyelesaikan persoalan pemakaman dan proses selanjutnya, dengan prosedur COVID,” ujar Pristiawan.

Rumah sakit biasanya menyertakan keterangan potensi penyakit menular bagi jenazah yang dimakamkan TRC BPBD DIY. Berbekal surat ini, ada kewajiban untuk memakamkan jenazah maksimal 4 jam setelah meninggal. Juga ada larangan membawa jenazah ke rumah duka untuk menghindari resiko penularan. Tentang status jenazah yang dimakamkan, menurut Pristiawan bukan menjadi kewenangan mereka.

“Persoalan apakah status akhir dari jenazah ini sebagai positif, negatif atau apapun, ini bukan domain kita lagi. Tapi paling tidak, standar awal untuk memutuskan bahwa kita harus melakukan pemakaman ini dengan menggunakan standar covid sudah terpenuhi. Apa itu? Status dia di rumah sakit,” tambahnya.

Tim TRC BPBD DIY menjalani dekontaminasi setelah prosesi pemakaman, 26 April 2020. (Foto: TRC BPBD DIY)

Ditambahkannya, semua tindakan didasarkan pada keputusan dokter, khususnya perlakuan jenazah sesuai standar penanganan jenazah korban virus corona. Karena itulah, tim tidak mau mengambil resiko sekecil apapun, dengan menerapkan standar keamanan operasional pemakaman.

Beda Fakta Lapangan dan Data Pemda

Tim Kolaborasi Jurnalis DIY terkait penanganan pandemi virus corona telah melakukan penelusuran data secara rinci. Sejauh ini, data baru disusun dari tiga laporan kematian pasien terkait corona dari tiga lembaga, yaitu TRC BPBD DIY, RSUP dr Sardjito dan PMI Gunungkidul. Sebagian data lain masih terserak, karena tidak seperti di Jakarta, data pemakaman tidak tersedia di pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota di Yogyakarta.

Tim kemudian menyisihkan sejumlah kematian yang dimakamkan dengan prosedur COVID-19, tetapi tidak relevan untuk laporan ini. Sisanya adalah daftar pemakaman yang dinilai betul-betul terkait dengan kasus infeksi virus corona. Dari 24 Maret 2020, sejak terjadi pemakaman pertama korban virus corona di DIY hingga 26 April, sekurangnya ada 60 pemakaman berstandar COVID-19. Dari jumlah itu, terdapat delapan jenazah yang tidak tercatat dalam data Pemda. Sisanya berstatus ODP ataupun PDP. Namun, Pemda DIY sendiri hingga Rabu (29/4) baru mencatatkan kematian akibat virus corona positif berjumlah tujuh orang.

BACA JUGA: Data Pemerintah Soal Korban Tewas Akibat Corona Dipertanyakan

Kasus semacam ini, menjadi gambaran kesimpang-siuran penyusunan data pasien virus corona. Padahal, data dan status pasien sangat penting sebagai bekal penelusuran kasus, untuk memetakan sebaran penularan dan menemukan lebih banyak orang yang tertular.

Kasus T, yang dinyatakan PDP oleh rumah sakit, justru tidak masuk dalam data Pemda DIY hingga saat ini. Sementara kasus BS, yang juga dinyatakan PDP ketika melakukan pemeriksaan di rumah sakit rujukan, dimasukkan sebagai negatif. Status ini cukup mengherankan, mengingat BS belum diambil spesimen usap hidung dan tenggorokan.

“Laporan kematian PDP belum ada hasil laboratorium satu orang laki-laki, 47 tahun warga Sleman, belum diambil swab,” kata juru bicara tim penanganan COVID-19 Pemda DIY, Berty Murtiningsih pada 2 April 2020 lalu ketika menjawab pertanyaan terkait kematian BS.

RSUP dr Sardjito Yogyakarta. (Foto: VOA/ Nurhadi)

Kepastian bahwa BS dinyatakan negatif terpampang di peta persebaran kasus virus corona yang dibuat Pemda DIY. Di Kecamatan Ngaglik, tempat tinggal BS, hanya ada satu pasien laki-laki berumur 47 tahun dengan kode PDP 289. Karena itu, bisa dipastikan bahwa PDP 289 adalah BS. Anehnya, status PDP 289 dinyatakan negatif, padahal jelas diakui dia belum diambil spesimen swab-nya oleh petugas kesehatan.

Kepala Dinas Kesehatan DIY, Pembajun Setyaningastutie menolak adanya kemungkinan ketidaksinkronan data semacam itu. Dengan penjelasan panjang lebar, dia menguraikan pencatatan berjenjang yang dilakukan pemerintah daerah. Data di kabupaten dan kota dilaporkan ke provinsi. Pembajun juga menegaskan, status PDP hanya bisa diterapkan jika seseorang sudah menjalani swab.

“Kalau dia meninggal tetapi hasilnya belum ada, nggak bisa (disebut PDP). Atau dia, misalnya hasilnya negatif, enggak bisa dia dibilang PDP harusnya. Tetapi dia dicurigai sebagai pasien. Pasien PDP-kah? Atau apa? Kan, harus tegak dulu,” kata Pembajun.

BACA JUGA: Guru Besar UGM Korban Pertama Positif Corona di Yogyakarta

Klasifikasi dicurigai PDP sendiri belum pernah terdengar digunakan oleh Kementerian Kesehatan ataupun Dinas Kesehatan di provinsi lain. Secara umum, seseorang yang mengalami gejala terinfeksi virus corona seperti panas tinggi dan sesak nafas, pernah bepergian dari zona merah dan kontak dengan pasien positif diklasifikasikan sebagai PDP. Namun, Pembajun bersikeras bahwa PDP hanya bisa dipastikan setelah melalui hasil uji swab.

“Kalau dia belum di belum sempat dilakukan swab, maka sebenarnya kita hanya bisa mengatakan bahwa dia dicurigai PDP. Belum terbukti, kan bahwa dia PDP, wong dia belum di-swab, tetapi sudah meninggal,” kata Pembayun.

Sayangnya, Pemda DIY sendiri yang memasukkan BS, pasien yang belum di-swab, sebagai PDP dengan hasil akhir negatif.

Didesak lebih jauh, Pembajun mengaku kemungkinan kebenaran fenomena gunung es dalam kasus virus corona ini. Fenomena ini adalah gambaran, bahwa apa yang ada di permukaan hanya mewakili bagian kecil dari keseluruhan fakta.

Data Kematian Penting

Iqbal Elyazar, Manajer Program Geospatial Epidemiology, Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Jakarta menyebut, data kematian memegang peranan penting dalam kasus Indonesia.

Iqbal Elyazar, Manajer Program Geospatial Epidemiology, Eijkman-Oxford Clinical Research Unit. (Foto: SS)

“Indikator kematian tentang COVID-19 ini adalah indikator penting. Mungkin lebih penting dibandingkan dengan indikator kasus. Karena indikator kasus itu sangat tergantung kepada jumlah pemeriksaan kita,” kata Iqbal.

Di negara dengan kemampuan pemeriksaan yang mumpuni, jumlah kasus dapat dihitung dengan mudah. Indonesia, dengan kemampuan saat ini sekitar 5.000 spesimen setiap hari, terhitung masih sangat rendah.

Sebagai perbandingan, menurut data worldometer, Indonesia baru melakukan 291 tes per satu juta penduduk,di bawah Bangladesh yang mampu melakukan 332 tes per satu juta penduduk, India 519, Filipina 820, Malaysia 4.701. Singapura mampu melakukan 20.815 tes per satu juta penduduk, sedangkan Amerika Serikat 17.885 dan Australia 21.020.

Karena itu, lanjut Iqbal, indikator kasus tidak mencerminkan secara utuh situasi pandemi virus corona di Indonesia.

Salah satu cara untuk meraba angka kematian, kata Iqbal adalah menerapkan konsep excess mortality. Metode ini dilakukan dengan menyandingkan data jumlah kematian pada periode sama untuk tahun yang berbeda. Misalnya jumlah kematian pada Maret dan April 2020, dibandingkan pada Maret-April 2017, 2018. Dan 2019. Selisih rata-rata kematian pada contoh data yang diambil, menggambarkan apa yang disebut sebagai excess mortality tersebut.

Your browser doesn’t support HTML5

Tulisan Samar di Batu Nisan: Simpang Siur Data Pasien Corona

“Kenapa kita terpaksa harus melihat excess mortality? Karena ternyata ada keterbatasan kemampuan dari otoritas kesehatan untuk memeriksa yang PDP itu. Kita bisa ambil data dari PDP yang meninggal itu, berapa persen yang sudah diketahui hasilnya, berapa persen yang belum diketahui hasilnya, dan berapa persen yang tidak sempat diambil tesnya,” lanjut Iqbal.

Di Jakarta misalnya, menurut situs resmi pemerintah provinsi, pada Maret 2020 lalu ada 4.377 pemakaman. Jumlah itu melonjak dari bulan Februari 2020 yang berjumlah 2.539 pemakaman, dan Januari 2020 mencapai 3.139 pemakaman. Beberapa laporan media internasional menyebutkan, kenaikan tinggi juga terjadi di kota-kota pusat pandemi seperti New York, London dan Madrid.

Iqbal berpendapat, jumlah kematian kasus nasional yang dihitung hanya berdasar kasus positif tidak representatif. Jumlah kejadian di kelompok ODP dan PDP juga harus dipertimbangkan, untuk memahami situasi pandemi secara utuh.

Seorang petugas laboratorium sedang menyiapkan medium untuk menumbuhkan virus di laboratorium Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta, 31 Agustus 2016. (Foto: Reuters)

Di sejumlah provinsi, kata Iqbal, data terkait PDP yang meninggal sebenarnya sudah tercatat dengan baik. Namun, di tingkat nasional, data PDP meninggal itu justru tidak pernah disebut sampai saat ini. Padahal data ini menarik, karena jumlahnya bisa mencapai tiga kali lipat dari kematian kasus positif. Fakta juga menunjukkan, banyak PDP meninggal menunggu hasil uji lab yang lama keluar.

Mengutip permodelan yang dibuat London School of Tropical Medicine, menurut Iqbal pada Maret 2020 hanya sekitar lima warga yang tertangkap sistem terkait pandemi ini. Artinya, hanya lima persen itulah yang datang ke rumah sakit dan diperiksa. Mayoritas justru tidak diperiksa, dan tetap berada di luar menularkan virus corona ke orang lain.

Apa yang terjadi di Yogyakarta terkait penyusunan data, kemungkinan besar terjadi juga di daerah lain. Kasus T dan BS hanyalah contoh kecil, bagaimana fakta di lapangan tidak sesuai dengan laporan data di atas kertas. Jika data di daerah memiliki banyak kekurangtepatan, bisa dipastikan data nasional yang disusun berdasar laporan daerah, memiliki kondisi kurang lebih sama.

Laporan Kantor Berita Reuters terakhir menyebut, lebih dari 2.200 pasien di Indonesia meninggal dengan tanda-tanda infeksi virus corona. Angka itu di luar jumlah resmi korban meninggal yang diumumkan setiap hari oleh gugus tugas nasional. Jumlah tersebut diperoleh hanya dari data 16 provinsi.

Kematian yang tidak tercatat atau status pasien yang tak sesuai, ibarat tulisan samar di batu nisan. Mereka sudah tiada, tetapi begitu sulit melacak apa yang menjadi sebabnya. [ns/ab]