KTT Iklim PBB tahun ini, yang disebut COP28, meraih kemenangan awal hari Kamis (30/11) setelah seluruh delegasi mengadopasi skema pendanaan baru yang akan membantu negara-negara rentan mengatasi dampak bencana yang disebabkan oleh faktor iklim.
Kesepakatan itu diadopsi setelah upacara pembukaan COP28 di Dubai, menyusul negosiasi yang sudah dilakukan selama berbulan-bulan.
Meski demikian, sejumlah kelompok berhati-hati, mengingat masih ada isu-isu yang belum dipecahkan, termasuk bagaimana dana itu akan dibiayai ke depannya.
Sumbangan Uni Emirat Arab sebesar $100 juta dan sumbangan negara-negara lainnya, jika ditotalkan, seditiknya mencapai $300 juta.
Jerman menjanjikan $100 juta, sementara AS sebesar $17,5 juta. Harapannya, jumlah total kontribusi seluruh negara cukup besar.
Terobosan awal mengenai dana bencana iklim yang sudah dituntut oleh negara-negara miskin selama bertahun-tahun itu dapat membantu mendorong kompromi-kompromi lainnya.
BACA JUGA: Badan Amal: 27 Juta Anak Kelaparan Terdampak Krisis Iklim Tahun 2022Sebelumnya, Presiden COP28, Sultan al-Jaber – yang juga CEO dari perusahaan minyak negara UEA – membuka KTT itu dengan mendesak negara-negara dan perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil untuk bekerja sama mencapai tujuan iklim global.
Al-Jaber ingin menyampaikan pesan dengan nada perdamaian setelah menerima kritik selama berbulan-bulan terkait penunjukkannya sebagai ketua COP28.
“Biar sejarah yang mencerminkan fakta bahwa ini adalah presidensi yang membuat pilihan berani untuk terlibat secara proaktif dengan perusahaan-perusahaan minyak dan gas. Kami sudah banyak melakukan diskusi yang sulit, yang tidak mudah, tapi kini perusahaan-perusahaan ini berkomitmen untuk menghasilkan nol emisi metana pada 2030 untuk pertama kalinya.”
“Dan sekarang banyak perusahaan minyak negara yang mengadopsi target nol bersih pada 2050 untuk pertama kalinya dan saya bersyukur mereka telah mengambil langkah untuk ikut serta dalam perubahan ini. Dan saya harus mengatakan bahwa ini saja belum cukup, dan saya tahu mereka bisa berbuat lebih.”
Selama dua minggu ke depan, pemerintah berbagai negara juga akan memperdebatkan apakah mereka akan bersepakat menghapus secara bertahap penggunaan batu bara, minyak dan gas penghasil CO2 di seluruh dunia, yang merupakan sumber utama emisi.
Agenda lainnya adalah apa yang disebut sebagai “inventarisasi global.”
Dalam agenda tersebut, negara-negara di dunia akan menilai kemajuan mereka dalam mencapai tujuan iklim global.
Tujuan utama yang dimaksud adalah yang tertuang dalam Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat Celsius. [rd/lt]