Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau mencatat, sejak Januari hingga Maret ini telah tercatat 600 titik api secara kumulatif di provinsi itu saja. Jumlah itu tidak terlepas dari tradisi pembersihan lahan dengan cara dibakar yang sudah dilakukan setidaknya dalam 18 tahun terakhir.
Tidak hanya individu masyarakat, perusahaan pemegang hak pengelolaan lahan juga melakukan tindakan serupa. Bedanya, perusahaan besar ini melakukan aksinya dengan menggunakan pihak ketiga, yaitu warga setempat. Kondisi inilah yang menyebabkan kebakaran lahan, khususnya di Riau, sulit dihilangkan.
Direktur Walhi Riau, Riko Kurniawan kepada VOA menyampaikan, setelah bencana asap hebat tahun 2015 lalu, pemerintah sebenarnya sudah melakukan sejumlah perbaikan kebijakan. Paling tidak yang bisa dilihat adalah adanya komunikasi lebih intensif antara pemerintah pusat dan daerah untuk mencegah terulangnya bencana serupa.
Masalahnya, kata Riko, sampai saat ini lahan yang tidak diketahui siapa pemilik hak konsesinya masih sangat luas. Di lahan semacam inilah, ketika kebakaran terjadi, pemerintah tidak tahu siapa yang mesti dimintai pertanggungjawaban.
“Kawasan-kawasan yang rawan terbakar, terutama lahan gambut, itu rusak begitu parah pada masa lalu. Yang kedua, tidak ada pendataan mengenai siapa yang bertanggung jawab atau pemilik kawasan yang dirusak itu. Fakta di lapangan yang kita temui, yang seharusnya bertanggung jawab menjaga konsesi dan jika kawasannya rusak maka berkewajiban melakukan rehabilitasi dan upaya penjagaan supaya tidak terbakar lagi, itu tidak pernah dikontrol,” papar Riko.
Selanjutnya, Riko mengingatkan, mayoritas lahan di Riau sudah rusak sejak belasan tahun lalu. Hutan telah ditebang dan lahan gambut dibiarkan mengering, untuk kemudian dibakar pada musim kemarau. Riko mendesak pemerintah mengambil langkah lebih menyeluruh, diantaranya mendata kembali perusahaan pemegang hak pengelolaan lahan.
“Harusnya, negara mendata ulang itu dan terus mengawasi kinerja para pemegang lahan dan pemegang konsesi itu untuk bertanggung jawab menjaga wilayah konsesinya tadi. Jika ada titik api, mereka wajib padamkan dengan cepat, bukan negara lagi yang harus memadamkan,” tambahnya.
Riko Kurniawan mewakili Walhi Riau, bersama tiga aktivis LSM mewakili masyarakat, akhir pekan lalu melayangkan gugatan citizen lawsuit ke Pengadilan Negeri Pekanbaru. Ketiganya adalah Al Azhar, Ketua Umum LAM Riau, Heri Budiman dari Rumah Budaya Sikukeluang dan Woro Supartinah dari Jikalahari.
Mereka didampingi 13 pengacara, dalam gugatan yang ditujukan kepada Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Kesehatan dan Gubernur Riau.
Menurut Indra Jaya, koordinator tim pengacara, gugatan ini berfokus pada fakta bahwa pemerintah tidak melakukan tindakan yang cukup dalam bencana asap tahun 2015. Di Riau saja setidaknya ada 5 orang korban meninggal dunia dan lebih dari 80 ribu terkena penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Melalui gugatan ini, pemerintah pusat dituntut melakukan perbaikan penanganan bencana yang mungkin terjadi lagi.
“Kita menganggap mereka melakukan perbuatan melawan hukum, karena lalai dalam menangani dan menanggulangi bencana asap pada 2015 kemarin. Intinya kita mengharapkan kepada para tergugat itu untuk membuat regulasi-regulasi tentang pencegahan dan penanggulangan asap supaya tidak terjadi lagi. Misalnya kita minta dibuat aturan-aturan, disipakan rumah sakit yang memadai, ada ruang-ruang evakuasi yang memadai untuk para korban asap,” ujar Indra Jaya.
Riau sendiri dalam sebulan terakhir menghadapi dua bencana berbeda pada waktu bersamaan. Di kawasan barat di mana curah hujan tinggi, sejumlah kabupaten mengalami banjir hebat. Di pesisir timur, yang jarang hujan, kebakaran lahan sudah terjadi sejak Januari. Kondisi ini, menurut Walhi, menjadi penanda penting, bahkan lingkungan di Riau sudah mengalami kerusakan yang luar biasa. [ns/lt]