Survei: Jurnalis Perempuan Alami Diskriminasi Gender di Tempat Kerja 

  • Yoanes Litha

Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto berswafoto bersama para wartawan di istana kepresidenan, 11 Oktober 2019. (Foto: presidenri.go.id)

Hasil survei atas 405 jurnalis perempuan di 34 provinsi di Indonesia oleh PR2Media dan AJI Indonesia tahun 2022 mengungkap masih adanya diskriminasi gender terhadap jurnalis perempuan di tempat kerja.

Hasil riset oleh Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengungkapkan masih adanya diskriminasi gender terhadap jurnalis perempuan di tempat kerja dalam hal remunerasi, kenaikan jabatan, hak cuti, hak melahirkan, tunjangan kesehatan, dan kesempatan untuk berkontribusi di ruang redaksi.

Riset ini menggunakan metodologi survei atas 405 jurnalis perempuan di 34 provinsi, yang dilakukan sejak tanggal 4 April hingga 18 April 2022, dengan 12 pertanyaan yang terkait dengan enam aspek kesetaraan gender. Responden survei memiliki keragaman tingkatan usia, yakni responden di bawah 30 tahun, 30-40 tahun, 41-50 tahun di atas 50 tahun.

Para wartawan mengenakan baju pelindug saat kunjungan media ke Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi, Kementerian Kesehatan, 11 Februari 2020. (Foto: Reuters)

Sementara jenis media mencakup media daring, multiplatform, televisi, radio dan cetak dengan bentuk media yakni komersial dan publik (RRI/TVRI). Posisi/jabatan responden berasal dari tingkatan reporter, editor, redaktur pelaksana, pemimpin redaksi, kontributor, wartawan, freelance, hingga kepala biro.

Engelbertus Wendratama, peneliti PR2Media mengatakan sebanyak 16,8 persen responden menyatakan mengalami diskriminasi gender dalam hal remunerasi di tempat mereka bekerja. Ini mencakup gaji pokok, bonus dan tunjangan. Survei itu juga menemukan sebanyak 29,6 persen responden jurnalis perempuan mengalami diskriminasi dalam hal tugas peliputan.

Your browser doesn’t support HTML5

Survei: Jurnalis Perempuan Alami Diskriminasi Gender di Tempat Kerja

“Biasanya adalah jurnalis perempuan hanya ditugaskan di topik atau tugas-tugas peliputan yang secara tradisional itu dianggap wilayah perempuan misalnya isu domestik, hiburan sementara dia tidak mendapatkan hak untuk misalnya dia punya minat dan kemampuan untuk meliput isu politik, jurnalisme investigasi, kadang tidak mendapat kesempatan itu,” papar Wendratama dalam Peluncuran Survei dan Diskusi Publik “Melawan Diskriminasi Gender di Perusahaan Media” pada Selasa (7/6).

BACA JUGA: Indonesia Kutuk Tewasnya Wartawan Al Jazeera

Jurnalis perempuan juga menghadapi pekerjaan ekstra tanpa adanya insentif, dan eksploitasi tubuh jurnalis perempuan oleh redaksi supaya mendapatkan wawancara dengan narasumber tertentu.

“Sering ada pernyataan, ‘narasumber meminta dijamu, ditemani oleh jurnalis perempuan’ ini memberikan kerjaan ekstra bagi jurnalis perempuan, yang tidak dialami oleh jurnalis laki-laki,” kata Wendratama saat membacakan pernyataan responden dalam kegiatan kegiatan Forum Diskusi Terpumpun (FGD).

Wendratama menegaskan sebagai organisasi yang banyak mengawal kebijakan dan pelayanan publik, media semestinya menargetkan zero tolerance terhadap diskriminasi gender di lingkungan kerjanya.

Veby Mega Indah, jurnalis asal Indonesia, dibantu oleh beberapa orang saat cedera, di Hong Kong, 29 September 2019. (Foto: AP)

Hak Cuti Bagi Jurnalis Perempuan

Anggota Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marginal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Widia Primastika, menambahkan dari survei juga terungkap sebanyak 67,9 persen responden mengaku tidak mendapatkan hak cuti haid dan sebanyak 11,6 persen lainnya mengatakan tempat kerja mereka tidak memberikan cuti melahirkan bagi jurnalis perempuan.

“Pada saat FGD kami menanyakan kepada jurnalis perempuan dan para peserta ini menyampaikan bahwa ada diskriminasi di tempat mereka bekerja ketika jurnalis perempuan ini mengambil cuti haid mereka dianggap tidak produktif, mereka dianggap sebagai perempuan yang lemah,” ungkapnya.

Seorang wartawan perempuan menggelar aksi damai memperingati Hari Pers Internasional di Jakarta, 3 Mei 2006. (Foto: AFP)

Dalam hal pengurangan jumlah karyawan, 14,3 persen responden mengatakan bahwa masih terjadi diskriminasi gender di perusahaan tempat mereka bekerja. Perempuan masih menjadi target ‘dirumahkan’ oleh perusahaan karena dianggap sebagai beban perusahaan. Diskriminasi jenis ini seringkali dialami oleh perempuan yang telah menikah. Stereotip peran perempuan yang dianggap tidak wajib mencari nafkah juga kadang menjadi alasan jurnalis perempuan menjadi sasaran “dirumahkan” oleh perusahaan.

Perusahaan media pun masih melakukan diskriminasi terhadap jurnalis perempuan dalam hal kontribusi untuk pengambilan kebijakan. Hal ini terlihat dari 11,4 persen responden yang mengatakan bahwa ruang redaksi mereka tidak mengakomodasi ide/saran dari jurnalis perempuan terkait liputan dan 14,8 persen responden mengatakan bahwa ruang redaksi tidak mengakomodir ide/saran dari jurnalis perempuan terkait kebijakan perusahaan.

Dorong Pengembangan Pers yang Sensitif Gender

Ketua Dewan Pers, Azyumardi Azra menilai penelitian yang dilakukan oleh PR2Media dan AJI Indonesia itu bisa mendorong pengembangan pers yang sensitif gender di Indonesia. Hal itu dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan dan pendidikan serta serta membangun lingkungan kerja yang adil dan setara bagi laki-laki dan perempuan.

“Jadi kita harus membangun itu di dalam pelatihan dan pendidikan jurnalis harus ada itu gender sensetive journalism kemudian gender sensetive works place jadi tempat pekerjaan yang sensitif gender, yaitu memberikan peluang yang sama kepada laki-laki dan perempuan,” kata Azyumardi menanggapi hasil riset tersebut.

Wartawan nasional mengangkat tangan saat mereka berbaris bersama dengan buruh Indonesia selama rapat umum untuk memperingati May Day di Jakarta, 1 Mei 2007. (Foto: AFP)

Paramater Kesejahteraan Pekerja Media

Hasil riset itu menyampaikan rekomendasi kepada perusahaan pers agar memenuhi hak cuti kepada jurnalis perempuan, membangun iklim perusahaan yang mendukung kesetaraan gender di antaranya memberikan ruang kepada jurnalis perempuan untuk berpendapat dan mengikuti promosi kenaikan pangkat, keterbukaan informasi standarisasi upah jurnalis.

Rekomendasi juga disampaikan kepada Dewan Pers dan Kementerian Ketenagakerjaan agar menjadikan kesetaraan gender sebagai salah satu parameter kesejahteraan pekerja media serta melakukan pengawasan aktif kepada Perusahaan Pers terkait kesetaraan gender. [yl/em]