Pihak berwenang Taliban di Afghanistan akan bertemu dengan utusan-utusan internasional, Minggu (30/6) di Qatar untuk melakukan pembicaraan yang digagas PBB, namun dikecam kelompok-kelompok HAM karena mengesampingkan perempuan Afghanistan.
Pemerintahan Taliban belum secara resmi diakui oleh negara mana pun dan komunitas internasional sedang bergulat dengan pendekatan mereka terhadap penguasa baru Afghanistan itu .
Ketika PBB, sekitar 25 utusan internasional termasuk dari Amerika Serikat, dan delegasi Taliban, bertemu di Doha pada tanggal 30 Juni dan 1 Juli, agendanya akan mencakup masalah ekonomi dan pemberantasan narkoba. Namun, keputusan Taliban untuk tidak menyertakan kelompok-kelompok masyarakat sipil termasuk aktivis hak-hak perempuan telah memicu protes.
“Menyerah pada persyaratan Taliban untuk memastikan partisipasi mereka dalam perundingan itu akan berisiko melegitimasi sistem penindasan berbasis gender yang dilembagakan,” kata kepala Amnesty International Agnes Callamard dalam sebuah pernyataan. “Mengesampingkan diskusi kritis mengenai HAM tidak dapat diterima dan menjadi preseden yang sangat merusak.”
Otoritas Taliban tidak dilibatkan dalam perundingan pertama pada Mei tahun lalu. Mereka menolak undangan pada bulan Februari, dan bersikeras untuk menjadi satu-satunya perwakilan Afghanistan pada pertemuan resmi tersebut, dengan mengesampingkan kelompok-kelompok masyarakat sipil. Pada babak pertemuan 30 Juni hingga 1 Juli, persyaratan yang diajukan Taliban dipenuhi.
Delegasi PBB dan internasional akan mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan perwakilan masyarakat sipil, termasuk kelompok-kelompok hak-hak perempuan, pada tanggal 2 Juli, setelah penutupan pertemuan utama.
Sejak kembali berkuasa pada tahun 2021, otoritas Taliban telah menegakkan aturan berdasarkan interpretasi ketat terhadap hukum Islam, yang menurut mereka menjamin hak semua warga negara.
Perempuan adalah pihak yang paling terdampak oleh pembatasan itu, yang oleh PBB disebut sebagai “apartheid gender”. Perempuan diasingkan dari kehidupan publik, termasuk dilarang masuk sekolah menengah, universitas, berbagai pekerjaan serta taman umum dan pusat kebugaran.
Dalam sebuah surat kepada PBB yang dilihat oleh kantor berita AFP, negara-negara G7+ mengatakan mereka “kecewa” atas tidak adanya agenda HAM pada pertemuan mendatang.
Surat terbuka dari 12 politisi perempuan berjabatan tinggi dari berbagai negara menyebut pengucilan terhadap perempuan merupakan tindakan “keterlaluan” dan tidak sejalan dengan Piagam PBB.
Para aktivis Afghanistan mendesak para undangan untuk memboikot pertemuan tersebut dan menyerukan protes di banyak negara. [ab/ka]