Presiden Joko Widodo mengambil sikap tegas menolak rencana revisi terhadap undang-undang no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sikap tegas Presiden Jokowi ini diapresiasi oleh lembaga anti korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW).
Koordinator ICW Ade Irawan kepada VOA Senin (22/6) mengatakan, sudah saatnya Jokowi selaku Presiden, turun tangan langsung melawan upaya pelemahan KPK.
"Saya kira sudah betul apa yang sudah dilakukan Jokowi. Karena kalau dia ingin sukses melawan korupsi yang punya potensi menggagalkan program-program yang sedang dia usung, ya antara lain dia harus perkuat KPK. Dan ketika ada upaya pelemahan KPK, Jokowi sebagai Presiden harus ikut melawan, antara lain dengan merevisi undang-undang KPK. Saya kira ini patut diapresiasi," ujarnya.
Ade menambahkan, rencana pelemahan KPK merupakan program lama yang sudah dirancang sedemikian rupa oleh kelompok tertentu. Dan momen yang digunakan adalah melalui revisi undang-undang KPK.
"Jelas itu ya. KPK dianggap sebagai ancaman bagi mereka. Dan mereka akan selalu cari ruang yang bisa membuat kerja KPK lemah. Dan mereka anggap timing nya adalah sekarang, ketika KPK bertubi-tubi mengalami turbulensi dianggap sebagai waktu yang tepat untuk mendorong agenda lama mereka. Ini kan bukan agenda baru, upaya pelemahan KPK melalui revisi uu KPK. Ini semua by design," tambah Ade Irawan.
Sebelumnya, Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki menjelaskan, penolakan revisi undang-undang KPK itu disampaikan Presiden dalam rapat terbatas (Jumat, 19/6) yang khusus membahas soal penguatan Pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
"Menolak rencana dan usulan revisi UU KPK. Sebetulnya Prolegnasnya 2016, bukan 2015. Tapi nggak tau kenapa kok ada percepatan. Tapi yang jelas pak Presiden sudah menolak. Kalau Presiden menolak kan berarti, DPR sebagai salah satu pihak dalam pembuatan undang-undang tidak bisa memaksakan. Ya kan. Tapi kami (KPK) tetap akan memberikan masukan ke DPR untuk dalam rangka penyusunan itu kemudian. Tetapi sangat tidak mungkin kami (malah) mengusulkan pasal-pasal yang bisa melemahkan kita sendiri," tutur Ruki.
Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno memastikan Pemerintah mempunyai komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi.
"Memperkuat aparat penegak hukum. KPK, Polisi dan Kejaksaan. Mereka (harus mampu) bersinergi satu visi dalam pemberantasan korupsi. Pemerintah tidak dalam posisi memperlemah KPK. Sehingga Pemerintah memandang belum perlu merevisi UU KPK," ungkap Tedjo.
Dewan Perwakilan Rakyat melalui hak legislasinya mengupayakan merevisi undang-undang KPK. Ketua DPR Setya Novanto memastikan, revisi undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK dilakukan bukan untuk melemahkan KPK.
Menurut Setya, revisi ini dilakukan agar KPK lebih baik lagi, dan lebih kuat dalam menegakan hukum dan memberantas korupsi.
Ketua DPR menjelaskan, "Mengenai revisi UU KPK tentu kita ingin memperkuat daripada supremasi hukum di KPK. Untuk itu kita serahkan kepada pihak baleg dan pemerintah. Ya, kita lihat perkembangannya nanti. Tentu kita yakin bahwa antara pemerintah dengan DPR tentu akan mencari jalan yang terbaik untuk KPK itu lebih baik dan lebih kuat."
Upaya pelemahan KPK setidaknya muncul setidaknya dalam dua hal. Pertama, kewenangan penyadapan hanya diberikan ketika KPK sudah menaikan status perkara ke penyidikan. Artinya KPK tidak memiliki kewenangan menyadap saat suatu perkara masih ada di tahap penyelidikan.
Pelemahan kedua dalam revisi undang-undang no 30 tahun 2002 ada pada pasal penuntutan. Dalam klausul ini KPK hanya diberikan kewenangan sampai pada tahap penyidikan. Selanjutnya pemberkasan penuntutan akan dilimpahkan ke Kejaksaan.