Trump: Bahrain Akui Israel

Presiden AS Donald Trump berbicara di Ruang Oval Gedung Putih di Washington, DC, 11 September 2020. (Foto: AFP)

Presiden Amerika Donald Trump, Jumat (11/9), mengumumkan bahwa Kerajaan Bahrain setuju untuk mengakui Israel, menyusul kesepakatan serupa antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) pada bulan lalu. Perjanjian tersebut merupakan tanda lain dari pergeseran dinamika di Timur Tengah, yang membawa negara-negara Arab lebih dekat ke Israel dan dipandang mengisolasi rakyat Palestina.

Dari kantornya di Gedung Putih, Trump mengatakan baru mengadakan "percakapan bersejarah" via telepon antara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dari Israel, dan Raja Ahmad Al Khalifa dari Bahrain. Kedua pemimpin itu sepakat bahwa Bahrain akan “sepenuhnya menormalkan hubungan diplomatiknya dengan Israel.” Trump menyebut langkah itu “terobosan bersejarah bagi perdamaian lebih lanjut di Timur Tengah.”

“Tidak ada reaksi yang lebih kuat terhadap kebencian yang melahirkan serangan 11 September daripada perjanjian yang akan kami sampaikan kepada Anda,” kata Trump kepada para wartawan.

Presiden Trump melakukan perjalanan ke Shanksville, Pennsylvania untuk memperingati tahun ke-19 serangan teroris pada 11 September 2001, Jumat (11/9).

Kesepakatan dengan Bahrain itu mengikuti “Abraham Accord” yang diumumkan pada 13 Agustus, yaitu kesepakatan antara Israel dan UAE untuk menormalkan hubungan antara kedua negara. Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu setuju untuk menghentikan rencana pencaplokan sebagian wilayah Tepi Barat. Gedung Putih dijadwalkan menjadi tuan rumah upacara penandatanganan "Abraham Accord" pada awal pekan depan. Trump memperkirakan perjanjian itu akan mendorong negara-negara Arab lainnya untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.

“Kami pikir pada akhirnya sebagian besar negara akan bergabung, dan Anda akan membuat orang Palestina berada dalam posisi yang sangat baik,” kata Trump. “Mereka ingin masuk, mereka nantinya ingin masuk, karena semua negara-negara sahabat sudah menjalin hubungan.”

Presiden Donald Trump, kiri, mendengarkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, kanan, berbicara dalam sebuah acara di Ruang Timur Gedung Putih di Washington, Selasa, 28 Januari 2020. (Foto: AP)

Palestina Mengutuk

Pimpinan Otoritas Palestina segera mengutuk keputusan Bahrain, dan menyebutnya sebagai “pengkhianatan terhadap Yerusalem, Masjid Al-Aqsa, dan masalah Palestina.”

Kesepakatan normalisasi antara Israel dan Bahrain adalah bukti lebih lanjut bahwa pemerintah Arab meninggalkan Inisiatif Perdamaian Arab tahun 2002 dan masalah Palestina, menurut Dana El Kurd dari organisasi Jaringan Kebijakan Palestina Al-Shabaka.

"Kesepakatan Bahrain bahkan tidak dianggap sebagai imbal balik dari segala sesuatu yang nyata terkait dengan tujuan Palestina atau proyek kenegaraan," tambahnya.

Perjanjian UAE dan Bahrain akan mengakui Israel sebagai bagian penting dalam strategi pemerintahan yang lebih besar di Timur Tengah.

BACA JUGA: Indonesia Dorong Perundingan Palestina-Israel Digelar Lagi

Meskipun dalam sejarah konflik Palestina-Israel adalah jantung konflik Arab-Israel, pemerintahan Trump mencoba untuk membalikkannya dengan mempromosikan "pendekatan luar-dalam," kata Khaled Elgindy, salah seorang direktur Institut Timur Tengah.

“Jika semua orang mengakui Israel, perbatasannya saat ini, kendali de facto Israel atas seluruh Yerusalem, di Tepi Barat, dan bahkan Jalur Gaza, pada akhirnya akan memaksa orang-orang Palestina untuk menyetujui dan membuat mereka tidak punya pilihan selain menyerah kepada kenyataan di lapangan," kata Elgindy.

"Itu tampaknya pendekatan Trump, dan saya pikir itu telah berhasil," tambahnya.

Kemenangan Kebijakan Luar Negeri

Dua bulan sebelum pemilihan AS, pemerintah memuji kesepakatan Bahrain-Israel sebagai kemenangan kebijakan luar negeri kedua di Timur Tengah yang dicapai dalam rentang satu bulan.

Sementara kebijakan luar negeri belum menjadi yang terdepan dalam debat politik menjelang pemilihan umum AS pada November, masa depan Israel menjadi penting bagi kelompok utama pendukung Trump, yaitu Kristen Injili, yang merupakan sepertiga dari pendukungnya pada tahun 2016.

"Mereka peduli bahwa Israel kuat, bahwa Israel menang, dan menang, dan bahwa Israel tidak mundur dari wilayah mana pun karena alasan teologis mereka sendiri," kata Elgindy. "Dan bagi Israel, mendapatkan pengakuan negara Arab dalam keadaan seperti ini, adalah kemenangan penting dan sesuatu yang jelas akan disambut baik oleh kelompok Kristen Injili."

BACA JUGA: Serbia, Kosovo Normalisasi Hubungan Ekonomi 

Pada awal pekan ini, Christian Tybring-Gjedde, seorang anggota parlemen sayap kanan Norwegia menominasikan Trump untuk meraih Hadiah Nobel Perdamaian 2021 atas usahanya di Timur Tengah. Pada hari Jumat (11/9), seorang anggota partai Demokrat Kristen Swedia, Magnus Jacobsson, mencalonkan Trump dan pemerintah Kosovo dan Serbia untuk mendapatkan Nobel.

Kosovo dan Serbia mengumumkan kesepakatan "normalisasi ekonomi" pekan lalu di Gedung Putih, kesepakatan yang ditengahi oleh pemerintahan Trump. Sebagai bagian dari kesepakatan itu, Kosovo dan Israel menormalisasi hubungan diplomatik.

Minggu lalu, menanggapi pertanyaan VOA, calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden mengatakan bahwa ia mendukung lebih banyak negara untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.

Penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner dan Penasihat Keamanan Nasional AS, Robert O'Brien, di pangkalan udara Al Dhafra di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab 1 September 2020. (Foto: REUTERS/Dan Williams)

Mengubah Dinamika Regional

Para pengamat mengatakan pengakuan Israel yang dilakukan oleh dua negara Teluk mencerminkan dinamika yang berubah di Timur Tengah. Sebagai pukulan bagi Palestina, Liga Arab awal pekan ini menolak untuk mengutuk “Abraham Accord".

Menanggapi kesepakatan normalisasi antara Israel dan Bahrain, seorang penasihat khusus urusan internasional kepada ketua parlemen Iran melalui Twitter menyebutnya "pengkhianatan besar terhadap tujuan Islam dan Palestina."

BACA JUGA: Yordania Khawatir Kesepakatan Israel-UEA Rugikan Solusi Dua Negara

Will Todman dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional, mencatat tidak seperti halnya UAE, kesepakatan di mana Israel mengakui untuk menghentikan aneksasi tanah Palestina, Bahrain tidak mengumumkan konsesi apapun dari Israel sebagai prasyarat untuk menormalisasi hubungan. Dalam melakukan itu, Todman mengatakan, pemerintah Bahrain tampaknya yakin bahwa mereka tidak akan menghadapi oposisi domestik yang serius untuk langkah tersebut.

Kesepakatan Bahrain juga menjelaskan posisi Arab Saudi, pemain regional utama, dalam masalah Israel-Palestina. "Bahrain kemungkinan telah mendapatkan persetujuan Arab Saudi sebelum membuat pengumuman, mengingat hubungan erat antara kedua kerajaan tersebut," kata Todman. "Itu menunjukkan bahwa Arab Saudi telah bergerak selangkah lebih dekat untuk menormalisasi hubungan dengan Israel sendiri."

Todman menambahkan bahwa Bahrain tampaknya melihat manfaat dari normalisasi hubungan dengan Israel, yaitu memperkuat aliansi anti-Iran di Timur Tengah, dan menyenangkan Partai Demokrat dan Republik.

Seorang wanita yang mengenakan masker wajah berjalan melewati bendera Uni Emirat Arab dan Israel di Jembatan Perdamaian di Netanya, Israel, Minggu, 16 Agustus 2020. (Foto: AP)

Luar-Dalam

Pendekatan "luar-dalam" telah diperjuangkan oleh menantu presiden, Jared Kushner, yang ditugasi memimpin upaya pemerintah AS untuk mencapai kesepakatan damai antara Israel dan Palestina. Pada bulan Januari pemerintah AS mengeluarkan rencana perdamaian yang segera ditolak oleh Palestina, dengan mengatakan bahwa tawaran itu bias terhadap Israel.

Sejak itu, Kushner dan pejabat lainnya telah melobi negara-negara Arab untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, untuk menunjukkan kepada rakyat Palestina bahwa tuntutan mereka tidak akan lagi mendikte hubungan Israel dengan negara-negara Arab lainnya.

Kushner mengatakan bahwa tujuan pemerintah pada akhirnya adalah untuk "menyelamatkan solusi dua negara" dengan mengakui kenyataan saat ini di mana warga Israel menduduki sebagian besar wilayah Palestina. "Jika kita terus melanjutkan status quo, pada akhirnya Israel akan mencaplok semua tanah di Tepi Barat," kata Kushner.

Sejumlah negara Teluk mungkin akan menormalisasi hubungan dengan Israel, termasuk Oman, Sudan dan Maroko, meskipun waktunya masih belum jelas. Saat ini lebih dari dua lusin negara tidak mengakui Israel, termasuk sebagian besar anggota Liga Arab, dan negara mayoritas Muslim non-Arab, termasuk Pakistan, Bangladesh dan Indonesia. [lt/ah/au]