Mengetahui pernyataannya yang dikutip banyak media dalam dan luar negeri menjadi polemik, Kabid Bina Hukum Syariat Islam dan Hak Asasi Manusia, Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, Syukri M Yusuf menyampaikan klarifikasi. Menurut Yusuf, yang dia sampaikan bukanlah sebuah rencana, tetapi sekadar wacana.
“Saya tidak pernah menyatakan Aceh akan berlakukan hukum pancung, yang saya sampaikan beberapa waktu lalu adalah wacana untuk melakukan penelitian terlebih dahulu untuk melihat tanggapan masyarakat Aceh jika hukum pancung/qishas mau diberlakukan. Itu sangat normatif,” kata Yusuf dalam klarifikasi yang juga diterima VOA.
Yusuf menolak untuk dihubungi melalui telepon, namun memberikan penegasan lebih lanjut melalui pesan tertulis bahwa pendapatnya soal pancung adalah atas kapasitas pribadi atau sebagai akademisi dan tidak mewakili Pemerintah Aceh. Dia juga menyatakan, wacana penelitian tentang hukum pancung, belum masuk program Pemerintah Aceh.
Dedy Sumardi, dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, membenarkan bahwa sampai saat ini belum ada rencana penerapan hukum pancung di Aceh. Dedy mengatakan, baru sebagian kecil saja dari hukum pidana di Aceh yang diterapkan sesuai hukum Islam atau tradisi hukum yang bersumber dari Syariah. Dari yang sebagian kecil itu saja, lanjutnya, hukuman seperti cambuk sudah menjadi isu dominan di media.
“Dalam penerapan syariat Islam di Aceh, ketika akan menerapkan hukuman yang bersumber dari tradisi Islam atau syariat, itu terlebih dahulu ada kajian naskah akademik. Sebelum hukuman yang ada dalam hukum Islam diundangkan dalam bentuk Perda atau qonun, naskah akademik ini yang diharapkan bisa menjawab atau merespons, apakah suatu hukuman yang akan diterapkan di Aceh itu cocok sesuai zaman kekinian atau tidak,” kata Dedy Sumardi.
Di Aceh sendiri sebelum ini pernah muncul polemik mengenai hukuman rajam. Ini adalah bentuk hukuman mati dengan cara dilempari batu. Ketika itu, kata Dedy, para akademisi berpendapat bahwa hal tersebut perlu dikaji lebih lanjut. Kajian itu terutama dari segi penggunaan dalil atau dasar yang digunakan para ulama ketika merumuskan hukum rajam itu sendiri. Wacana itu akhirnya hilang.
Dedy mengingatkan, bahwa pemberlakuan syariat Islam di Aceh sesuai aturan yang berlaku secara nasional dengan dua asas utama. Pertama, personalitas keislaman, yaitu bahwa syariat Islam hanya ditujukan kepada muslim di Aceh. Kedua, asas teritorial, di mana syariat Islam hanya terbatas pada wilayah Aceh saja. Di sisi lain, karena pemerintah memberikan status keistimewaan kepada Aceh, maka diskursus soal ini juga terbatas hanya di Aceh.
Dedy menjelaskan, dalam Filsafat Hukum Islam dijelaskan bahwa tujuan hukum adalah mewujudkan kesejahteraan manusia secara umum. Masalahnya, lanjutnya, masih ada pertanyaan tentang petunjuk teknis pelaksanaannya, sehingga hukum Islam sesuai dengan kondisi masyarakat sendiri. Khusus di Aceh, penerapan syariat Islam juga terbentur budaya setempat.
“Di Aceh, kultur masyarakat tidak semuanya sejalan atau sesuai dengan penerapan syariat Islam, ini lebih personal, ya. Budaya hukum masyarakat Aceh belum mendukung pelaksanaan syariat Islam sendiri. Belum memahami sepenuhnya, sesuai konteks kekinian perundang-undangan di Indonesia,” tambah Dedy.
Mustiqal Syahputra, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh menegaskan, secara umum hukuman mati masih menjadi perdebatan besar di Indonesia. Karena itu, penerapan hukuman pancung, misalnya, hanya akan menambah panjang perdebatan itu.
“Itu yang harus dilihat oleh Dinas Syariat Islam Aceh dan MUI, jangan sampai pemberlakuan syariat Islam di Aceh bertentangan dengan fungsi hukum, HAM dan demokrasi yang berkembang saat ini,” kata Mustiqal.
Dia menegaskan, Undang-Undang Pidana di Indonesia sudah mengatur kasus-kasus pembunuhan. Karena itu, tidak diperlukan pengaturan yang berbeda di tingkat Aceh, yang dikenal sebagai qonun jinayat. Di samping itu, dia meragukan bahwa penerapan pancung akan menimbulkan efek jera. Tidak ditemukan basis data yang cukup untuk mendukung hal itu, kata Mustiqal.
“Jadi, debatnya bukan menolak atau tidak menolak syariat Islam, dalam perspektif ini LBH juga menerima syariat Islam sebagai sebuah aturan yang disepakati bersama. Kita sendiri sebagai orang Islam di Aceh juga menerimanya. Tetapi penerapannya harus dilihat jangan sampai bertentangan dengan prinsip HAM dan demokrasi, karena esensi penerapan pidana itu bukan hanya soal efek jera tetapi juga pencegahan dan sebagainya,” jelasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Secara regulasi, ujar Mustiqal, syariat Islam merupakan mandat keistimewaan di Aceh. Namun, kerangka hukum nasional dan perspektif HAM tetap harus menjadi batasan. “Jangan sampai dianggap dunia Islam ini bagian dari yang tidak beradab. Islam juga mengenal HAM, karena itu ada rambu-rambu yang harus dibangun,” tambahnya.
Mengenai pemberlakuan hukum cambuk yang sudah dilaksanakan sejauh ini apakah efektif atau tidak, Mustiqal mengaku belum ada data apakah terjadi penurunan kriminalitas. Namun menurutnya, bukti bahwa terdakwa yang dicambuk selalu ada, menyiratkan bahwa pelanggaran terus terjadi.
Mustiqal juga menyampaikan wacana, dalam kasus korupsi, barangkali justru lebih utama penerapan syariat Islam. Dalam syariat ditegaskan, pelaku pencurian, seperti korupsi ini, dihukum dengan dipotong tangannya. [ns/uh]