Kasus tiga anak pengidap HIV yang dilarang bersekolah dan terancam diusir dari Nainggolan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara adalah bukti bahwa masih banyak masyarakat yang belum paham mengenai penyakit HIV ini. KPAI berharap anak-anak tersebut bisa tetap mendapatkan hak bersekolah tanpa adanya diskriminasi.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina mengatakan kepada VOA, Senin (22/10) kasus tiga anak pengidap HIV, yang dilarang bersekolah, bahkan terancam diusir dari Nainggolan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara adalah bukti masih banyak masyarakat Indonesia yang salah persepsi mengenai penyakit HIV.
Menurutnya, masih banyak pulau atau kabupaten terpencil di Indonesia yang belum paham akan Undang-Undang (UU) atau regulasi kepada anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus seperti anak pengidap HIV/AIDS. Terkait kasus tersebut, pihaknya saat ini masih melakukan koordinasi dengan pihak sekolah dan pemerintah setempat agar anak-anak tersebut bisa bersekolah sesuai dengan haknya untuk mendapatkan pendidikan, tanpa adanya perlakuan diksriminatif.
KPAI, kata Putu mengimbau agar pihak sekolah, seperti kepala sekolah, guru, siswa serta orang tua siswa untuk diberikan pemahaman dan sosialisasi yang benar terkait bagaimana pendekatan sosial dan pendekatan kesehatan yang harus dilakukan dengan anak-anak yang mempunyai latar belakang HIV ini.
"Jadi, sekolah harus bisa mengkomunikasikan melalui komite sekolah tentang seperti apa sebenarnya HIV/AIDS itu. Bagaimana tertularnya? Bagaimana kondisinya? Ini juga menjadi ajang untuk memberikan pemahaman kepada orang tua. Saya berharap sesudah sekolah berkoordinasi dengan komite sekolah, diambil langkah-langkah yang perlu untuk supporting, karena mau tidak mau anak dengan HIV/AIDS harus mendapatkan dukungan baik itu dari sekolah, temannya maupun keluarga. Kondisi sekarang masyarakat itu saya beranggapan bahwa mereka masih kurang pemahaman terkait bagaimana menangani atau mengelola anak atau lingkungan dengan HIV /AIDS," kata Putu.
Bukan hanya hak untuk bersekolah, KPAI berharap pemerintah setempat bisa menjamin pengobatan bagi anak-anak ini, karena dibutuhkan prosestreatmentyang panjang bagi anak-anak pengidap HIV tersebut. Selain proses pengobatan, pemerintah juga harus bisa memastikan oleh siapa anak-anak ini kemudian akan diasuh. Karena anak-anak ini membutuhkan orang tua pengganti yang juga akan merawat mereka nantinya.
"Lalu bagaimana supportingterhadap keluarga yang memiliki anak dengan HIV/AIDS. Lalu untuk masalah medicalcoverage, artinya mereka membutuhkan pengobatan yang berkelanjutan. Apakah kemudian pemerintah bisa menjamin yang seperti ini? Itu yang harus dipastikan sampai kemudian betul-betul sehat," lanjutnya.
Putu mengatakan, bahwa sampai saat ini anak-anak tersebut belum bersekolah lagi. Selain itu, dibutuhkan berbagai pendekatan kepada anak-anak ini setelah mereka mendapatkan penolakan untuk bersekolah sebelumnya. Putu berharap, mereka bisa segera bersekolah lagi, karena semakin lama mereka tidak bersekolah, akan menambah derita bagi anak-anak tersebut dan dikhawatirkan menimbulkan trauma seperti membawa efek negatif kepada anak-anak tersebut bahwa mereka tidak bisa bersekolah, berteman dan sebagainya akibat HIV yang mereka derita.
Sementara itu, Tiqoh dari Yayasan Pelita Ilmu (YPI) mengatakan untuk mengatasi permasalahan seperti ini, dibutuhkan penjelasan secara medis yang harus diberikan kepada pihak sekolah dan juga para orang tua siswa. Dalam hal ini, kata Tiqoh, dokter bisa dilibatkan untuk memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai HIV ini.
Pihaknya yakin, berbagai kasus penolakan seperti ini terjadi karena lagi-lagi pengetahuan masyarakat akan HIV/AIDS masih minim. Dari kasus serupa yang sudah terjadi, setelah diberikan penjelasan medis oleh dokter maka pihak sekolah, siswa maupun orang tua siswa dapat menerima anak pengidap HIV untuk bisa bersekolah tanpa perlakuan diskriminatif.
"Sebenarnya menolak karena pemahamannya masih kurang baik. Intinya kan mereka takut kalau anaknya ketularan, karena pasti yang namanya anak kecil main bareng, jatuh-jatuh berdarah-darah, itu sebenarnya yang mungkin terjadi di anak-anak. Ya orang tua pasti panik. Dan anak-anak pengidap HIV juga bertahap dikasih penjelasan sama dokter yang merawatnya bahwa dia harus menjaga dirinya sendiri. Jadi dari sisi anaknya dia menjaga, kemudian dari pihak sekolah yaitu guru dan wali kelas, kepala sekolah, orang tau itu harus ada edukasi juga. Yang lebih pas menjelaskan dari pihak medis yaitu dokter, bahwa penularannya seperti apa dan lain-lain," jelas Tiqoh.
Selain penjelasan dari pihak dokter, menurutnya peran psikologi anak juga dibutuhkan dalam hal ini, di mana anak pengidap HIV juga harus diberi pendampingan oleh psikolog sehingga kesehatan jiwa mereka juga tidak terganggu. [gi/lt]