Suara pro dan kontra bermunculan terkait tindakan masyarakat yang bahkan mengancam untuk mengusir ketiga anak yatim piatu berusia di bawah 12 tahun itu, karena takut tertular HIV.
Apakah benar HIV bisa menular lewat kontak pergaulan? Mengapa ibu rumah tangga tercatat sebagai salah satu kelompok profesi dengan angka AIDS tertinggi? Benarkah ada obat untuk mencegah HIV?
Berikut lima hal yang perlu Anda tahu tentang HIV/AIDS.
Pro-kontra netizen
Berita “Idap HIV, Tiga Anak di Samosir Dilarang Sekolah dan Terancam Terusir” di situs VOA Indonesia, telah dibaca lebih 3.000 kali dalam 12 jam sejak diunggah.
Sementara, di Facebook, berita itu sudah dibagikan hampir 100 kali dan dikomentari puluhan pembaca.
Seorang netizen dengan akun bernama Kristian Horison Pandumpi menulis bahwa anak-anak tersebut harus “dikarantina dengan tepat”.
Sementara, mayoritas komentar lainnya lebih bernada simpati. Misalnya, pemilik akun MrPäunk yang menekankan yang dialami tiga bocah itu adalah pertanda betapa pentingnya edukasi tentang HIV/AIDS, “agar tidak salah paham”.
Namun, komentar MrPäunk itu mendapat tentangan dari netizen lain, Maindrat Rthee Manullang, yang membalas, “edukasi bagaimana lagi? itu penyakit (HIV) menular, jadi wajar mereka khawatir.”
Ada pula yang mengekspresikan keterkejutannya membaca berita di situs VOA Indonesia ini. Ronald Sekoh menulis, “Woww… intoleran itu lebih menular dan berbahaya daripada HIV.”
Sementara Duell Fine Sobar mengungkapkan bahwa ketiga anak tersebut harusnya “dikasihani”, karena mereka “tidak berdosa, orang tuanya lah yang berdosa”.
Dia pun meminta pemerintah daerah untuk mengurus kasus ini, “jangan biarkan masalah seperti ini terabaikan.”
Setelah sebelumnya menyerukan agar ketiga anak dipindahkan dari Desa Nainggolan, Samosir dan bahkan membuka hutan bagi tempat tinggal mereka, Bupati Samosir, Rapidin Simbolon, Senin malam (22/10), menegaskan bahwa dia “bertanggung jawab, tidak perbolehkan masyarakat mengusir mereka.”
Dia mengklaim masih mencari “win-win solution” terkait nasib ketiga anak tersebut.
Apa itu HIV/AIDS? Dari mana asalnya?
HIV adalah singkatan dari human immunodeficiency virus.
Bedanya dari mayoritas virus lainnya, tubuh kita tidak bisa benar-benar ‘menyembuhkan diri’ dari HIV. Jadi, sekali Anda terinfeksi HIV, Anda akan hidup dengan HIV selamanya.
Berdasarkan keterangan yang dimuat di situs Pusat Pengawasan dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC), HIV disebut berasal dari salah satu jenis Simpanse di Afrika Tengah.
Ilmuwan meyakini, “jenis HIV yang diidap simpanse itu menginfeksi manusia dan bermutasi, karena manusia memburu dan memakan hewan itu. Kemungkinan besar kita terinfeksi karena kontak dengan darah simpanse yang mengidap virus.”
Studi mengungkapkan virus dari simpanse ini pertama kali menginfeksi manusia pada akhir 1800an.
Dan HIV menyerang sistem imun, terutama sel CD4. Sel ini berfungsi membantu sistem imun melawan penyakit.
Jika tidak diobati, maka HIV akan terus membunuh sel CD4, membuat tubuh penderitanya gampang terinfeksi berbagai macam penyakit.
Infeksi ini pada dasarnya akan melalui tiga fase, jika tidak diobati:
Fase pertama, 2 sampai 4 minggu setelah terinfeksi, penderita akan merasakan gejala seperti flu. Ini adalah reaksi alami tubuh terhadap infeksi penyakit. Namun, banyak penderita HIV yang tidak sadar.
Fase kedua, berlangsung dalam jangka hingga 10 tahun. Pada tahap ini HIV bereproduksi dalam jumlah yang sangat rendah, membuat banyak penderita tidak merasakan gejala apapun. Namun, di akhir fase, jumlah virus HIV akan melonjak, dan kita beralih ke fase tiga.
Fase ketiga, adalah tahap paling parah yang disebut AIDS. Sistem imun penderita benar-benar telah rusak parah. Jumlah CD4 minim, membuat berbagai penyakit oportunisik gampang menyerang dan sulit disembuhkan.
CDC mengungkapkan gejala umum bagi orang yang sudah berada di fase AIDS adalah demam, kedinginan, sering berkeringat, merasa sangat letih dan tubuh mengurus secara drastis. Tanpa pengobatan, mereka hanya bisa bertahan hidup “selama 3 tahun”.
Meskipun hingga saat ini tidak ada obat yang bisa menyembuhkan HIV, tetapi virus ini bisa dikontrol melalui terapi antiretroviral. Dengan meminum obat ini, orang dengan HIV positif bisa “hidup sehat” dan memiliki jumlah CD4 optimal, membuat harapan hidup mereka “nyaris sama” dengan mereka yang HIV negatif.
Di Indonesia mayoritas orang dengan AIDS adalah Ibu rumah tangga?
Berdasarkan data kumulatif Kementerian Kesehatan sejak tahun 1987 hingga Desember 2017, ibu rumah tangga adalah orang-dengan-AIDS-yang-dilaporkan paling banyak kedua di Indonesia.
Jumlah ibu rumah tangga dengan AIDS mencapai 14.721 orang, tepat berada di bawah mereka yang profesinya “tidak diketahui”, dengan jumlah 28.253 orang.
Sementara pekerja seks komersial dengan AIDS berada di peringkat ke-8 dengan jumlah 3.314 orang.
Namun, dalam berbagai kesempatan, Kementerian Kesehatan menegaskan besarnya angka kumulatif ibu rumah tangga dengan AIDS, bukan berarti pula bahwa ibu rumah tangga memiliki perilaku yang paling berisiko terinfeksi HIV.
Tingginya angka, karena “kementerian kesehatan (lebih) gencar melakukan tes HIV terhadap orang dengan perilaku yang tidak berisiko tinggi, tetapi rentan tertular karena suaminya memiliki perilaku berisiko tinggi seperti menjadi pengguna jarum suntik dan pembeli seks.”
Meskipun begitu, kondisi ini tetap saja mengkhawatirkan karena ibu bisa menularkan HIV kepada anak yang dikandungnya.
Menurut Pusat Pengawasan dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC), HIV bisa ditularkan ke bayi saat ibu mengandung, dalam proses melahirkan dan saat ibu menyusui (lewat air susu ibu).
Namun, penularan itu bisa diantisipasi. Dengan meminum obat antiretroviral selama ibu mengandung, bayi diberikan obat-obatan HIV selama 4 hingga 6 minggu sejak lahir, serta ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi bisa ditekan hingga kurang dari 2%.
Sementara secara umum di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah HIV yang dilaporkan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Jika orang dengan HIV positif berjumlah 859 pada 2005, jumlahnya naik jadi 21.591 pada 2010, dan melonjak terus hingga 48.300 kasus pada 2017.
Berdasarkan faktor risiko pada Oktober hingga Desember 2017, mayoritas yang terinfeksi (47%) adalah mereka yang menggunakan jarum suntik, disusul heteroseksual (22%) dan pelaku hubungan seks sesama jenis (21%).
Mitos-mitos soal penularan HIV
CDC menyatakan bahwa HIV “hanya” ditularkan lewat cairan tubuh “tertentu”: darah, sperma, pre-cum, cairan anus, cairan vagina dan air susu ibu (ASI).
HIV pada cairan tersebut bisa ditularkan lewat kontak dengan membran mukosa (ada di anus, vagina, penis dan mulut), bagian tubuh yang luka, atau disuntikkan langsung ke aliran darah.
Secara umum, HIV bisa menular lewat hubungan seks anal atau vaginal tanpa kondom atau tanpa meminum obat pencegah HIV. HIV dapat pula ditularkan karena berbagi jarum suntik.
Lebih jauh lagi, meskipun air ludah orang dengan HIV positif mengandung HIV dalam jumlah sedikit, CDC menegaskan “HIV tidak menular lewat ludah”.
Berbagai mitos pun beredar di masyarakat terkait penularan HIV.
Misalnya banyak yang beranggapan bahwa HIV menular lewat kontak sosial termasuk penggunaan alat makan secara bergantian atau bersentuhan, berpelukan dengan mereka yang HIV positif. HIV juga disebut-sebut bisa menular saat berenang di kolam renang umum.
Anggapan tersebut salah. Berdasarkan penelitian CDC, HIV tidak menular melalui hirupan udara, keringat, sentuhan, ludah, air mata, urin, bahkan kotoran.
Ada pula yang menyebut HIV dapat ditularkan lewat gigitan nyamuk.
Ini juga salah. Hingga saat ini tidak ada bukti medis bahwa gigitan nyamuk adalah salah satu media penyebaran HIV. Saat berpindah logasi gigit, nyamuk tidak menginjeksikan darah dari orang sebelumnya ke ‘mangsa’ barunya. Selain itu, umur HIV di dalam serangga disebut tidak bertahan lama.
Benarkah ada obat pencegah HIV?
Pusat Pengawasan dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) mengungkapkan bahwa metode PrEP (Pe-exposure prophylaxis), yang berbentuk pil, adalah cara yang efektif untuk mencegah orang berisiko tetapi berstatus HIV negatif, dari infeksi HIV.
Pil bermerk Truvada ini sebenarnya adalah salah satu obat yang digunakan untuk mengobati orang yang sudah positif HIV.
Namun, jika dikonsumsi setiap hari oleh orang yang berisiko (pengguna jarum suntik, orang yang punya banyak pasangan seksual, pekerja seks komersial) dan berstatus HIV negatif, maka saat dia terekspos HIV, obat ini akan membuat HIV berhenti berlipatganda dan tidak bisa menginfeksi tubuh.
CDC menyebut, jika dikonsumsi setiap hari, PrEP efektif mencegah HIV hingga 92%.
Meskipun begitu, PrEP tidak mencegah penularan penyakit menular seksual lainnya.
Di Amerika Serikat, harga awal obat ini mencapai US$1300 (Rp19 juta) per botolnya (untuk 30 hari).
Namun, mayoritas asuransi di Amerika membantu biaya pembelian PrEP.
Bahkan bagi mereka yang memiliki asuransi Medicaid atau Medicare, hanya perlu mengeluarkan sekitar US$8 (Rp120.000) per botolnya.
Sementara untuk asuransi lainnya, pengguna ‘hanya’ merogoh kocek rata-rata US$40 (Rp600.000) per botol.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia?
Meskipun sudah masuk dalam rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pencegah HIV, metode PrEP belum diterapkan di Indonesia.
Banyak dari mereka yang ingin mengikuti metode ini memilih untuk mendapatkan PrEP dari Thailand, meskipun dalam bentuk obat generik, sehingga harganya lebih murah, yaitu sekitar Rp250.000 per botol.
Kementerian Kesehatan Indonesia mengungkapkan masalah utama penyediaan PrEP di Indonesia adalah soal dana.
Pemerintah Indonesia setiap tahunnya dibantu dana dari Global Fund sebesar Rp800 miliar, untuk menyediakan obat antiretroviral bagi mereka yang HIV positif. “Sehingga orang yang positif HIV dapat obat gratis”.
Tapi kalau PrEP juga diterapkan di Indonesia, “duitnya rasanya berat,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu. (rh)